Kamis, 09 Mei 2013

Penentuan Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Indonesia Pada Kedalaman 2500 m isobaths + 100 nm di Sebelah Barat Indonesia Menggunakan Batimetri Turunan Data Penginderaan Jauh



Penentuan Landas Kontinen Ekstensi Batas Maritim Indonesia Pada Kedalaman 2500 m isobaths + 100 nm  di Sebelah Barat Indonesia Menggunakan Batimetri Turunan Data Penginderaan Jauh
 
Atriyon Julzarika



ABSTRACT

West side Indonesia is a region that directly adjacent to Hindia Ocean. This condition allows Indonesia to claim maritime boundary delimitation according to Technical Aspect of the Law of the Sea (TALOS), one of TALOS concept  is to determine extended continental shelf  in -2500 m depth isobaths + 100 nm in 1% sedimentary rock. This extended continental shelf can be determined by using bathymetry that is derived from altimetry satellite imagery. The establishment of this bathymetry has the same concept with topography in the case of survey mapping and remote sensing. Those bathymetry can be applied to determine another maritime boundary delimitation claims. Besides that, those bathymetry can also be applied to make a 3D model of bathymetry in Hindia Ocean so we can observe the condition of internal waters, medium and depth waters in the west side of Indonesia. This bathymetry will be useful for various engineering applications and some other of non engineering applications. This 3D model of bathymetry will be useful for Indonesia in claiming maritime boundary delimitation in Hindia Ocean and to improve marine resources management.
Keywords : Bathymetry, West side Indonesia, extended continental shelf


ABSTRAK

Indonesia bagian barat merupakan kawasan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Kondisi ini memungkinkan Indonesia dapat mengklaim batas maritim sesuai dengan yang terdapat di Technical Aspect of the Law of the Sea (TALOS). Salah satunya adalah penentuan batas landas kontinen ekstensi pada kedalaman -2500 m isobaths + 100 nm pada sedimentasi 1%. Batas landas kontinen ini dapat ditentukan menggunakan data batimetri yang diturunkan dari citra satelit Altimetri. Pembuatan batimetri ini memiliki konsep yang sama dengan pembuatan topografi secara survei pemetaan maupun secara penginderaan jauh. Batimetri tersebut bisa digunakan untuk penentuan klaim batas maritim lainnya. Selain itu, batimetri tersebut bisa juga digunakan untuk pemodelan 3D perairan di Samudera Hindia sehingga akan terlihat kondisi perairan dangkal, sedang, dan dalam yang ada di sebelah barat Indonesia. Batimetri ini akan berguna dalam berbagai aplikasi keteknikan dan non keteknikan lainnya. Pemodelan 3D perairan ini akan berguna bagi Indonesia dalam klaim batas maritim di Samudera Hindia dan dalam pengelolaan sumber daya alam laut.
Kata kunci: Batimetri, Indonesia bagian barat, landas kontinen ekstensi


Pendahuluan
Kondisi geografis Indonesia memiliki posisi penting yaitu terletak antara samudera Hindia dan samudera Pasifik serta benua Asia dan Australia. Kondisi geografis ini juga berdampak pada fenomena El-Nino yang menyebabkan Indonesia mengalami kondisi kering dan hangat. El-Nino adalah penampakan suhu dan arus laut yang hangat di perairan lepas pantai Amerika Selatan mulai dari Ekuador sampai Peru (Subandono, 2009: 68). Indonesia yang juga merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki berbagai kekayaan sumber daya alam, mempunyai peran penting dalam perubahan iklim global, serta memiliki pengaruh dalam pergerakan lempeng benua. Selain itu perubahan iklim juga dipengaruhi oleh penguapan yang lajunya menjadi lebih cepat akibat dampak kenaikan suhu bumi yang mengakibatkan peningkatan kelembaban di udara serta peningkatan suhu di siang hari. Curah hujan akan bertambah terutama di wilayah pesisir dan sepanjang lintasan siklon atau terpengaruh dari efek lintasan ekor siklon tropis. Pada skala regional panas dan kelembaban berlebih akan menyebabkan badai tropis yang kuat.
Indonesia memiliki 17.504 pulau dan garis pantai 95.181 km dengan kemiringan rata-rata 2% atau genangan air mundur ke arah darat sejauh 50 m dari garis pantai. Fenomena perubahan iklim tersebut sudah berdampak pada Indonesia, yaitu setidaknya sudah kehilangan 24 pulau kecil dalam waktu 2005-2007 (DKP, 2007). 24 pulau kecil yang tenggelam tersebut meliputi NAD (tiga pulau), Sumatera Utara (tiga pulau), Papua (tiga pulau), Kepri (lima pulau), Sumatera Barat (dua pulau), dan Sulawesi Selatan (satu pulau) serta Kepulauan Seribu (tujuh pulau) (Subandono, 2009: 77).
Mayoritas pulau-pulau kecil tersebut tenggelam akibat erosi air laut yang diperburuk dengan kegiatan penambangan komersil. Penyebab lainnya adalah faktor bencana alam seperti tsunami, abrasi, fenomena rob, dan faktor di luar perubahan iklim. Setidaknya ada empat indokator yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu (1). Perubahan suhu atmosfer dan suhu air laut; (2). Perubahan pola angin; (3). Perubahan presipitasi dan pola hidrologi; (4). Kenaikan muka air laut. Pada saat erosi pantai meningkat, pola angin berubah ditambah dengan adanya kenaikan muka air laut maka perubahan fisik lingkungan berubah. Perubahan tersebut meliputi (1) terjadinya gelombang ekstrim dan banjir; (2) intrusi air laut ke sungai dan air tanah; (3) kenaikan muka air sungai di muara sungai karena terbendung oleh muka air yang naik; (4) perubahan pasang surut dan gelombang; (5) perubahan pola sedimentasi. Permasalahan kenaikan muka air laut juga disebabkan vulkanologi laut, pencairan es di kutub utara dan selatan serta deformasi vertikal atau penurunan tanah.
Kenaikan muka air laut sangat berpengaruh pada penataan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Saat ini Indonesia memiliki 92 pulau-pulau kecil terluar, 67 pulau diantaranya berbatasan langsung dengan negara tetangga sebagai pulau-pulau kecil perbatasan (Julzarika, 2009). Dari sejumlah 67 pulau tersebut, 13 diantaranya perlu mendapat perhatian khusus pemerintah. Kenaikan muka air laut ini memiliki peran penting terutama pada penentuan batas maritim antar negara. Selain itu Indonesia juga dihadapi dengan permasalahan batas maritim. Indonesia belum mempunyai perjanjian batas maritim antar negara dengan Palau, Philipina, dan Timor Leste serta belum selesainya kesepakatan permasalahan batas maritim dengan Singapura, Malaysia, dan Vietnam (Abubakar, 2006).
Berdasarkan UNCLOS 1982, penentuan batas landas kontinen ekstensi dapat dilakukan dengan memperhatikan empat kriteria seperti diatur dalam pasal 76. Dua kriteria pertama adalah kriteria yang membolehkan (formulae), sedangkan dua kriteria terakhir adalah kriteria yang membatasi (constraints): kriteria yang membolehkan adalah sebagai berikut (Arsana, 2007):
  1. Didasarkan pada titik tetap terluar pada titik mana ketebalan batu endapan (sedimentary rock) paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dengan kaki lereng kontinen (gardiner line). Batas terluar landas kontinen ekstensi adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan ketebalan batu sedimen 1% dihitung dari kaki lereng kontinen. Persentase ini dihitung dengan membandingkan tebalnya batu sedimen di suatu titik terhadap jarak titik tersebut dari kaki lereng.
  2. Batas terluar landas kontinen ekstensi juga bisa ditentukan dengan menarik garis berjarak 60 mil laut dari kaki lereng kontinen (Hedberg line) ke arah laut lepas.
Pada penerapannya, batas terluar landas kontinen ekstensi merupakan kombinasi dari dua syarat di atas, dalam hal ini akan dipilih garis terluar yang paling menguntungkan negara yang bersangkutan. Garis terluar ini belum merupakan garis batas landas kontinen ekstensi final karena harus diuji dan memenuhi dua syarat pembatas yaitu:
  1. Batas terluar dari landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal sebagai referensi mengukur garis batas territorial; atau
  2. Batas terluar dari landas kontinen tidak melebihi 100 mil laut dari kontur kedalaman 2.500 m isobaths.
Kedua syarat tersebut membatasi dan berlaku salah satu yang paling menguntungkan garis terluar yang dihasilkan.
Delimitasi batas maritim juga memerlukan konsep datum horizontal dan datum vertikal. Datum horizontal atau datum geodesi merupakan model matematika bumi untuk referensi perhitungan koordinat (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Meskipun sebuah garis batas maritim telah berhasil dibuat, tidak disepakatinya datum geodesi yang digunakan dapat menimbulkan sengketa. Pemahaman datum horizontal harus dipahami secara komprehensif terutama dalam hubungan antara permukaan bumi, geoid, dan ellipsoid. Geoid merupakan model fisik bumi berupa bidang ekuipotensial yang bentuknya mempunyai referensi mendekati permukaan air laut rerata (TALOS, 2006). Model ini dipengaruhi oleh kombinasi distribusi massa bumi dan gaya sentrifugal rotasi bumi dan berkaitan erat dengan jari-jari bumi. Distribusi massa bumi yang tidak merata akan menyebabkan ekuipotensial memiliki jari-jari bumi yang berbeda sehingga tidak sempurna secara matematis. Ellipsoid merupakan model matematika bumi yang ditentukan oleh dimensi dari sumbu mayor dan sumbu minor dan nilai penggepengan (flattening).
Faktor utama yang mempengaruhi delimitasi batas maritim adalah pertimbangan politik, strategis, sejarah. Selain itu juga berpengaruh pertimbangan ekonomi dan lingkungan, pertimbangan geografis, serta pertimbangan geologi dan geomorfologi (Arsana, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan batas maritim berdasarkan landas kontinen ekstensi pada kedalaman 2500 m isobaths + 100 mil laut di sebelah barat Indonesia. Hal ini dilakukan karena pada kawasan in Indonesia tidak berbatasan dengan negara lain, tetapi berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.

Metodologi penelitian
Penelitian ini menggunakan metodologi pada diagram alir berikut ini.

Gambar 1. Diagram alir penelitian

Pelaksanaan
Penelitian ini menggunakan data batimetri yang dibuat dari citra satelit altimetri. Batimetri yang dihasilkan bisa digabungkan dengan topografi dari SRTM 90. Gambar (2) merupakan tampilan 3D hasil gabungan batimetri dengan SRTM 90.
Gambar 2. Batimetri dan topografi Indonesia bagian barat

Data batimetri tersebut digunakan untuk melihat hasil posisi kedalaman -2500 m isobaths di sebelah barat pulau Sumatera. Pada wilayah ini Indonesia tidak berbatasan langsung dengan negara lain sehingga memungkinkan untuk melakukan klaim pada >24 nm, >200 nm, >350 nm, dan pada kedalaman -2500 + 100 m isobaths. Batimetri yang dibuat dari citra satelit altimetri dapat digunakan dalam klaim batas maritim Indonesia. Berdasarkan data batimetri tersebut kemudian dilakukan pembuatan kontur pada -2500 m. Pengolahan ini menghasilkan fakta bahwa pada jarak 24-200 nm dari titik pangkal Indonesia di sebelah barat Indonesia terdapat batimetri dengan kedalaman -2500 m.
Kemudian juga terdapat kedalaman -2500 m pada wilayah tengah Samudera Hindia. Akan tetapi ini merupakan nilai kedalaman -2500 m terdekat ke titik pangkal sehingga klaim batas maritim pada kedalaman -2500 m + 100n m isobaths tidak bisa diklaim. Pada kawasan barat Indonesia ini hanya bisa mengklaim batas maritim >350 nm. Gambar (3) berikut ini merupakan tampilan batimetri perairan barat Indonesia pada kedalaman -2500 m isobath.
Gambar 3. Batimetri pada kedalaman -2500 m isobaths wilayah Indonesia bagian barat


Gambar (4) merupakan tampilan kedalaman -2500 m, sebelah kanan dekat dengan titik pangkal Indonesia, sedangkan sebelah kiri terletak ditengah samudera Hindia.
Gambar 4. Samudera Hindia pada kedalaman -2500 m isobaths

Gambar (5) merupakan tampilan 3D batimetri perairan barat Indonesia di Samudera Hindia. Batimetri antara kedalaman pertama (-2500 m dari titik pangkal) dengan batimetri kedua (-2500 di Samudera Hindia) memiliki kedalaman <2500 m bahkan terletak pada kedalaman <-4000 m. Perairan diantara kedua batimetri ini tergolong pada perairan dalam sehingga kondisi kekuatan dan laju arus laut di perairan ini sangat kuat dan berpengaruh terhadap perairan barat pulau Sumatera, kepulauan Mentawai, pulau Simeulueh, pulau Nias, dan pulau Enggano. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab bahwa perairan barat Sumatera memiliki kerentanan abrasi sangat tinggi, tinggi gelombang >1,5 m, dan pergeseran lempeng yang sangat signifikan.
Gambar 5. Tampilan 3D batimetri perairan barat Indonesia di Samudera Hindia

Uji melintang batimetri perairan barat Indonesia
Uji melintang digunakan untuk melihat bagaimana kondisi profil suatu model 3D secara melintang. Pengujian ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui akurasi secara geostatistik (Julzarika, 2007). Pengujian ini dapat juga diaplikasikan pada proses cut and fill untuk pertambangan darat-laut dan survei hidrografi. Gambar (6) merupakan tampilan uji profil melintang pada perairan Samudera Hindia.

Gambar 6. Uji profil melintang batimetri di Indonesia bagian barat

Data batimetri ini bisa juga diaplikasikan untuk pembuatan slope dimana hasil ini bisa digunakan untuk menentukan bagaimana kondisi slope di sekitar Samudera Hindia sehingga dapat diketahui lokasi sedimatasi 1% pada kedalaman -2500 m + 100 nm isobaths. Secara umum, batimetri di perairan Samudera Hindia memiliki slope sekitar 0-15 derajat.
Gambar 7. Slope batimetri di Samudera Hindia

Selain untuk penentuan slope, data batimetri dapat digunakan untuk penentuan slope direction. Secara umum, perairan di Samudera Hindia terletak pada slope direction 60-130 derajat. Kondisi ini terletak pada hampir di keseluruhan wilayah perairan dalam di Samudera Hindia. Slope direction ini berguna untuk analisa kekuatan dan laju arus, gelombang, kenaikan muka air laut.
Gambar 8. Slope direction di Samudera Hindia

Kesimpulan
  1. Samudera Hindia secara umum terletak di perairan dalam (<-4000 m) sehingga penentuan klaim batas maritim -2500+100 m isobaths tidak berpengaruh bagi batas maritim Indonesia karena terletak dekat dengan titik pangkal kepulauan.
  2. Indonesia bisa melakukan klaim batas maritim pada >350 nm ke arah barat di Samudera Hindia karena tidak berbatasan langsung dengan negara lain.
  3. Perairan di Samudera Hindia terletak pada slope 0-15 derajat dengan slope direction 60-130 derajat.

Daftar pustaka
Abubakar, M. , 2006. Menata pulau-pulau kecil perbatasan. Cetakan pertama. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. Indonesia.
Arsana, I.M.A., 2007. Batas Maritim Antar Negara. Cetakan pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Indonesia.
Diposaptono, S. et all., 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Cetakan pertama. PT. Sarana Komunikasi Utama. Bogor. Indonesia
IOC, IHO, IAG, 2006. Technical Aspect of the Law of the Sea (TALOS). UNESCO. United Nations.
Julzarika, A., 2007, Analisa Perubahan Koordinat Akibat Proses Perubahan Format Tampilan Peta pada Pembuatan Sistem Informasi Geografis Berbasis Internet, Skripsi, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM, Yogyakarta.
Julzarika, A., 2009. Kajian batas maritim Indonesia dengan Australia dan Timor Leste akibat kenaikan muka air laut. Geosda UGM. Yogyakarta.
Widjajanti, N.,dan Sutanta, H. 2006: Model Permukaan Digital, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universtas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pemodelan 3D Kota Semarang Terhadap Kenaikan Muka Air Laut dengan Citra Satelit SPOT5



Pemodelan 3D Kota Semarang Terhadap Kenaikan Muka Air Laut dengan Citra Satelit SPOT5

Atriyon Julzarika



INTISARI
Pada masa sekarang ini, Bumi telah dilibatkan pada permasalahan serius yaitu pemanasan global. Salah satu efek dari fenomena ini adalah kenaikan muka air laut (Sea Level Rise). Fenomena ini mengancam Indonesia sebagai negara kepulauan. Tidak hanya berpengaruh pada pulau-pulau kecil perbatasan, tetapi juga pada kondisi kota-kota di pesisir. Ada beberapa kota di Indonesia yang mengalami permasalahan serius akibat kenaikan muka air laut, di antaranya Padang, Painan, Bengkulu, Sibolga, Jakarta, Semarang, Pekalongan, Makassar, Manado, dan Ambon. Kota Semarang memiliki permasalahan yang unik, tidak hanya bermasalah pada kenaikan muka air laut, tetapi juga pada deformasi vertikal. Tanah di Semarang mengalami deformasi vertikal sekitar –(8-10) cm/tahun. Kenaikan muka air laut di Kota Semarang sekitar +(8-10) mm/tahun. Kedua kondisi tersebut berpengaruh pada instrusi air laut ke Kota Semarang secara perlahan-lahan. Pada penelitian ini diperlukan pemodelan tentang pengaruh kenaikan muka air laut sehingga dapat mengetahui informasi genangan air terhadap tutupan lahan. Parameter kenaikan muka air laut meliputi perubahan iklim, rata-rata pasang surut, deformasi vertikal, kemiringan dan jenis pantai, serta pergerakan lempeng. Pemodelan 3D ini menggunakan citra satelit SPOT5 dan Digital Terrain Model (DTM) hasil interpolasi CoKriging Bench Marck (BM) di Kota Semarang. Hasil ini bisa digunakan sebagai rekomendasi untuk pembuatan peta bahaya (hazard map), peta kerentanan (vulnerability map), dan peta resiko (inundation map).
Kata kunci: Pemodelan 3D, kenaikan muka air laut, deformasi vertikal, Kota Semarang, genangan air

I. Pendahuluan
Kota Semarang merupakan ibukota propinsi Jawa Tengah yang saat ini mengalami permasalahan serius terhadap kenaikan muka air laut. Permasalahan serius ini juga dihadapi oleh kota-kota lainnya di Indonesia seperti Padang, Painan, Bengkulu, Sibolga, Jakarta, Pekalongan, Makassar, Manado, dan Ambon. Selain itu, masalah ini juga melanda pulau-pulau kecil perbatasan terutama yang berbatasan dengan Palau, Timor Leste, dan Philipina (Abubakar, 2006). Salah satu penyebab kenaikan muka air laut adalah fenomena perubahan iklim terutama El-Nino yang menyebabkan Indonesia mengalami kondisi kering dan hangat. El-Nino adalah penampakan suhu dan arus laut yang hangat di perairan lepas pantai Amerika Selatan mulai dari Ekuador sampai Peru (Subandono, 2009: 68). Selain itu perubahan iklim juga dipengaruhi oleh penguapan yang lajunya menjadi lebih cepat akibat dampak kenaikan suhu bumi yang mengakibatkan peningkatan kelembaban di udara serta peningkatan suhu di siang hari. Pada skala regional panas dan kelembaban berlebih akan menyebabkan badai tropis yang kuat. Curah hujan akan bertambah terutama di wilayah pesisir dan sepanjang lintasan siklon atau terpengaruh dari efek lintasan ekor siklon tropis.
Fenomena perubahan iklim tersebut sudah berdampak pada Indonesia, yaitu setidaknya sudah kehilangan 24 pulau kecil dalam waktu 2005-2007 (DKP, 2007). 24 pulau kecil yang tenggelam tersebut meliputi NAD (tiga pulau), Sumatera Utara (tiga pulau), Papua (tiga pulau), Kepri (lima pulau), Sumatera Barat (dua pulau), dan Sulawesi Selatan (satu pulau) serta Kepulauan Seribu (tujuh pulau) (Subandono, 2009: 77).
Kota Semarang menghadapi permasalahan yang jauh lebih rumit, tidak hanya disebabkan oleh perubahan fenomena iklim tetapi juga pada deformasi vertikal, fenomena pasang surut, rob, abrasi pantai, dan kecepatan arus laut. Kenaikan muka air laut global akibat perubahan iklim sebesar 2 mm/tahun sedangkan di Kota Semarang berkisar 8-10 mm/tahun. Selain itu juga ditambah dengan deformasi vertikal sekitar –(8-10) cm/tahun. Fenomena pasang surut/rob dengan rata-rata kisaran 0,9 meter untuk pantai berpasir dengan kemiringan pantai <0,6 %. Faktor abrasi yang berpengaruh sekitar >-1 m/tahun dengan rata-rata tinggi gelombang >2,6 meter. Parameter-parameter tersebut digunakan untuk pemodelan 3D kenaikan muka air laut terhadap Kota Semarang dengan menggunakan SPOT-5 dan Digital Terrain Model (DTM). Pemodelan 3D tersebut berguna dalam mendapatkan informasi genangan air terhadap parameter-parameter kenaikan muka air laut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan garis pantai kota Semarang dengan pemodelan 3D terhadap kenaikan muka air laut dan deformasi vertikal.

II. Metodologi penelitian
Gambar (1) merupakan diagram alir penelitian.


Gambar 1. Diagram alir penelitian

Penelitian ini mengkaji bagaimana pemodelan 3D pesisir Kota Semarang terhadap kenaikan muka air laut? Bagaimana pemodelan 3Dnya terhadap parameter lain seperti deformasi vertikal, pasang surut/rob, dan abrasi? Hasil ini bisa digunakan sebagai rekomendasi untuk pembuatan peta bahaya (hazard map), peta kerentanan (vulnerability map), dan peta resiko (inundation map)

III. Pelaksanaan
Kenaikan muka air laut di Kota Semarang tidak hanya berpengaruh pada pulau Jawa, tetapi juga pada pulau-pulau kecil perbatasan terutama dalam batas maritim antar negara. Klaim batas maritim tersebut meliputi klaim atas zona maritim nasional yaitu perairan pedalaman (internal water), perairan kepulauan (archipelagic waters), laut teritorial (territorial sea), zona tambahan (contigous zone), zona ekonomi ekslusif (exclusive economic zone), dan landas kontinen (continental shelf). Zona maritim yang bisa diklaim sebuah negara pantai diukur dari garis pangkal (baseline) ke arah laut (Arsana, 2007). Untuk itu diperlukan kajian terhadap kenaikan muka air laut di Kota Semarang.
Penelitian pemodelan 3D terhadap perubahan garis pantai kota Semarang menggunakan DTM hasil interpolasi CoKriging dari seluruh BM yang ada di kota Semarang. DTM merupakan model permukaan digital yang mempunyai referensi terhadap koordinat toposentrik dan telah dilakukan koreksi unsur-unsur geodetis terhadap model tersebut (Li et all, 2005). Interpolasi ini menghasilkan DEM dengan akurasi vertikal sekitar 0.1-1 meter. Untuk pemetaan wilayah kota Semarang terutama di pesisirnya menggunakan citra satelit resolusi tinggi. Pada penelitian ini menggunakan citra SPOT5 dengan resolusi spasial 5 meter. Citra SPOT5 bisa juga dibuat DSM dengan akurasi vertikal 0.5-2 meter. Interpolasi CoKriging dilakukan dengan perangkat lunak Ilwis Academics. Pada pemodelan permukaan digital, diperlukan bagaimana suatu jaring kontrol geodetik dapat menghasilkan grid data secara matematis. Grid data dibentuk berdasarkan rangkaian koordinat raster (baris, kolom) akibat terjadi transformasi koordinat. Transformasi koordinat yang dimaksud adalah perubahan format tampilan peta dari koordinat kartesian (x, y, z, t) pada jaring kontrol geodetik menjadi koordinat raster pada grid data (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Secara matematis, metode CoKriging merupakan interpolasi titik, membutuhkan peta titik sebagai data masukan dan menghasilkan peta raster dengan estimasi dan peta kesalahan/error. CoKriging adalah multivariate variant dengan operasi dasar Kriging. CoKriging menghitung perkiraan atau prediksi dengan sampel minimumdengan bantuan variabel yang lebih baik (covariable). Variabel harus dengan korelasi tinggi (positif atau negatif). CoKriging baik untuk mendapatkan hasil yang presisi. CoKriging menggunakan semivariograms kovarian dengan memperhitungkan bobot S w i = 1 and S h j = 0 dan metode Kriging (Deutsch & Journel, 1992). Nilai variogram dengan model semivariogram g A , g B dan model silang variogram untuk observasi predictand Ai dan n observasi dari covariable Bj sesuai dengan persamaan CoKriging.
s2 = S wi gA(hi) + S hj g AB(hj) + m1

Setiap pengukuran mempunyai kesalahan ukuran, baik kesalahan acak maupun kesalahan tidak acak (Arsana dan Julzarika, 2006). Pemerataan titik kontrol dalam jaring kontrol geodetik mempengaruhi akurasi dan presisi data (Julzarika, 2007). Pemodelan 3D dengan interpolasi Kriging ini harus memenuhi range tertentu (Julzarika, 2008).
a.       Tinggi masing-masing titik penelitian adalah hi meter
b.      Range arah sumbu x :    X’= X-dxi s/d X+dxi
      Maka range X = X’ (pada penelitian ini lebih mengutamakan elevasi/sumbu z)
c.       Range arah sumbu y :    Y’= Y-dyi s/d Y+dyi
      Maka range Y = Y’ (pada penelitian ini lebih mengutamakan elevasi/sumbu z)
d.      Range arah sumbu z :Z’= Z-dzi s/d Z+dzi
dxi, dyi, dan dzi adalah simpangan baku titik yang diperoleh dari model matematika dengan hitung perataan.
Gambar (2) merupakan DTM hasil interpolasi CoKriging dari BM yang terdapat di Kota Semarang.

Gambar 2. DTM Kota Semarang

Gambar (3) merupakan tampilan Kota Semarang dilihat dari citra SPOT5.
Gambar 3. Citra satelit SPOT5 Kota Semarang

Proses selanjutnya adalah melakukan koreksi ortho terhadap citra SPOT5 dengan metode single model bundle adjustment. Koreksi ortho menggunakan DTM hasil interpolasi Kriging BM dengan titik kontrol tanah dari BM tersebut.Setelah itu dilakukan pemodelan 3D terhadap kenaikan muka air laut akibat beberapa parameter. Pertama kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Kota Semarang mengalami kenaikan muka air laut sebesar 8-10 mm/tahun. Parameter berikutnya adalah rata-rata pasang surut, dalam hal ini kota Semarang mengalami kenaikan 0.9 meter setiap periode pasang surut (18,61 tahun). Parameter berikutnya adalah deformasi vertikal yaitu kenaikan atau penurunan tanah akibat pengaruh geomorfologi. Kota Semarang mengalami deformasi vertikal dengan rerata -8cm/tahun. Parameter keempat yang digunakan adalah jenis pantai dan kemiringan pantai. Kota Semarang memiliki kemiringan pantai sekitar <0.6% dengan jenis pantai berpasir. Parameter kelima yang digunakan adalah pergerakan lempeng.
Gambar (4) merupakan kenaikan muka air laut di Kota Semarang akibat perubahan iklim untuk 100 tahun ke depan. Garis hijau menunjukkan kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Perubahan muka air laut akibat perubahan iklim adalah sebesar maksimal 10 mm/tahun. Jika perubahan tersebut konstan, maka pada 100 tahun ke depan akan terjadi perubahan muka air laut akibat perubahan iklim sebesar 1 meter. Kondisi ini akan mengenangi beberapa wilayah di Kota Semarang. Wilayah tersebut meliputi pesisir kota Semarang dan sebagian besar Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, serta sebagian kecil Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Genuk.
Gambar 4. Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim

Gambar (5) merupakan kenaikan muka air laut di Kota Semarang akibat rata-rata pasang surut untuk lima periode pasang surut ke depan atau (5*18,61 tahun).
Gambar 5. Kenaikan muka air laut akibat rata-rata pasang surut

Garis kuning merupakan kenaikan muka air laut akibat rata-rata pasang surut. Perubahan muka air laut akibat rata-rata pasang surut adalah sebesar maksimal 0.9 m/periode pasang surut. Jika perubahan tersebut konstan, maka pada lima periode pasang surut ke depan akan terjadi perubahan muka air laut akibat rata-rata pasang surut sebesar 4.5 meter. Kondisi ini akan mengenangi beberapa wilayah di Kota Semarang. Wilayah tersebut meliputi seluruh pesisir Kota Semarang yang melingkupi seluruh Kecamatan Tugu dan Kecamatan Semarang Utara, sebagian besar Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Timur, Kecamatan Gayamsari, dan Kecamatan Genuk serta sebagian kecil Kecamatan Pedurungan.
Gambar (6) merupakan kenaikan muka air laut di Kota Semarang akibat deformasi vertikal untuk 100 tahun ke depan.
Gambar 6. Kenaikan muka air laut akibat deformasi vertikal

Garis warna cyan merupakan kenaikan muka air laut akibat deformasi vertikal. Perubahan muka air laut akibat deformasi vertikal adalah sebesar maksimal -8 cm/tahun. Jika perubahan tersebut konstan, maka pada 100 tahun ke depan akan terjadi perubahan muka air laut akibat deformasi vertikal sebesar -8 meter. Kondisi ini akan mengenangi beberapa wilayah di Kota Semarang. Wilayah tersebut meliputi seluruh wilayah pesisir Kota Semarang dengan melingkupi keseluruhan Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Semarang Tengah, Kecamatan Semarang Timur, dan Kecamatan Gayamsari. Selain itu juga mengenangi sebagian besar Kecamatan Genuk, serta sebagian kecil Kecamatan Pedurungan.
Gambar (7) merupakan kenaikan muka air laut di Kota Semarang akibat kemiringan pantai dan jenis pantai untuk 100 tahun ke depan.
Gambar 7. Kenaikan muka air laut akibat kemiringan dan jenis pantai

Garis warna biru merupakan kenaikan muka air laut akibat kemiringan dan jenis pantai. Perubahan muka air laut akibat kemiringan pantai dan jenis pantai adalah sebesar 3.4 mm/tahun (proyeksi kenaikan muka air laut relatif). Kota Semarang memiliki jenis pantai berpasir dengan kemiringan <0.6 %. Jika perubahan tersebut konstan, maka pada 100 tahun ke depan akan terjadi perubahan muka air laut akibat parameter ini adalah sebesar 0.340 meter. Kondisi ini akan mengenangi beberapa wilayah di Kota Semarang. Wilayah tersebut meliputi seluruh pesisir Kota Semarang yang melingkupi Sebagian besar Kecamatan Tugu serta sebagian kecil Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, dan Kecamatan Genuk.
Gambar (8) merupakan kenaikan muka air laut di Kota Semarang akibat pergerakan lempeng untuk 100 tahun ke depan.
Gambar 8. Kenaikan muka air laut akibat pergerakan lempeng arah vertikal

Garis warna magenta merupakan kenaikan muka air laut akibat pergeseran lempeng arah vertikal. Perubahan muka air laut akibat pergeseran lempeng arah vertikal adalah sebesar maksimal 13.8 mm/tahun. Jika perubahan tersebut konstan, maka pada 100 tahun ke depan akan terjadi perubahan muka air laut akibat pergeseran lempeng sebesar 1.380 meter. Kondisi ini akan mengenangi beberapa wilayah di Kota Semarang. Wilayah tersebut meliputi seluruh pesisir Kota Semarang yang melingkupi Sebagian besar Kecamatan Tugu serta sebagian kecil Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, dan Kecamatan Genuk.
Gambar (9) merupakan kenaikan muka air laut di Kota Semarang akibat semua parameter untuk 100 tahun ke depan.
Gambar 9. Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim, rata-rata pasang surut, deformasi vertikal, kemiringan dan jenis pantai serta pergerakan lempeng arah vertikal

Garis warna merah merupakan kenaikan muka air laut akibat total dari perubahan iklim, rata-rata pasang surut, deformasi vertikal, kemiringan dan jenis pantai serta pergerakan lempeng arah vertikal. Jika perubahan tersebut konstan, maka pada 100 tahun ke depan akan terjadi perubahan muka air laut akibat semua parameter sebesar 15.22 meter. Kondisi ini akan mengenangi beberapa wilayah di Kota Semarang. Wilayah tersebut meliputi seluruh wilayah pesisir Kota Semarang yang melingkupi keseluruhan Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Genuk, Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Semarang Timur, dan Kecamatan Semarang Tengah. Selain itu juga mengenangi sebagian besar Kecamatan Semarang Selatan dan Kecamatan Pedurungan serta sebagian kecil Kecamatan Gajah Mungkur.
Berikut ini perbandingan perubahan kenaikan muka air laut terhadap parameter-parameter yang mempengaruhinya.
I. Kondisi perbandingan perubahan pada tahun 2008
 Tabel 1. Persentase parameter terhadap kenaikan muka air laut di Kota Semarang
Parameter
Persentase
perubahan iklim
0.17
pasang surut
19.54
abrasi pantai
21.72
deformasi vertikal
1.74
fenomena rob/aktivitas manusia
56.46
pergerakan lempeng (vertikal)
0.30
kemiringan dan jenis pantai (<0.6%)
0.07
Total
100

Pada tahun 2008, kenaikan muka air laut di Kota Semarang di dominasi oleh fenomena rob/aktivitas manusia. Abrasi pantai juga berpengaruh besar terhadap kenaikan muka air laut. Demikian juga dengan fenomena alamiah pasang surut. Perubahan iklim, kemiringan dan jenis pantai serta pergerakan lempeng tidak terlalu berpengaruh ada kenaikan muka air laut.

II. Kondisi perbandingan perubahan pada tahun 2108
Tabel 2. Persentase parameter terhadap kenaikan muka air laut di Kota Semarang
Parameter
Persentase
perubahan iklim
2.86
pasang surut
8.92
abrasi pantai
7.14
deformasi vertikal
28.55
fenomena rob/aktivitas manusia
46.40
pergerakan lempeng (vertikal)
4.92
kemiringan dan jenis pantai (<0.6%)
1.21
Total
100

Perkiraan pada tahun 2108, kenaikan muka air laut Kota Semarang masih didominasi oleh fenomena rob/aktivitas manusia. Akan tetapi pengaruh deformasi vertikal dan perubahan iklim mengalami kenaikan yang signifikan.

Gambar 10. Persentase parameter prediksi kenaikan muka air laut (2008-kiri; 2108-kanan)

Berbeda dengan pasang surut dan abrasi pantai, parameter ini mengalami sedikit penurunan. Sedangkan kemiringan dan jenis pantai serta pergerakan lempeng masih dalam kondisi relatif tetap.
  
 IV. Kesimpulan
Penelitian ini memiliki empat kesimpulan sebagai berikut.
  1. Kenaikan muka air lau di Kota Semarang lebih didominasi oleh fenomena rob/aktivitas manusia.
  2. Deformasi vertikal dan perubahan iklim diprediksi mengalami kenaikan signifikan pada 100 tahun ke depan.
  3. Kemiringan dan jenis pantai serta pergerakan lempeng masih dalam kondisi relatif tetap terhadap pengaruh kenaikan muka air laut.
  4. Parameter pasang surut dan abrasi pantai tetap berpengaruh signifikan terhadap kenaikan muka air laut di Kota Semarang.
 V. Daftar pustaka
Abubakar, M. , 2006. Menata pulau-pulau kecil perbatasan. Cetakan pertama. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. Indonesia.
Arsana, I.M.A., 2007. Batas Maritim Antar Negara. Cetakan pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Indonesia.
Arsana, I.M.A. and Julzarika, A., 2006. Liscad: Surveying & Engineering Software. Leica GeoSystem. Jakarta. Indonesia.
Diposaptono, S. et all., 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Cetakan pertama. PT. Sarana Komunikasi Utama. Bogor. Indonesia
Julzarika, A., 2007, Analisa Perubahan Koordinat Akibat Proses Perubahan Format Tampilan Peta pada Pembuatan Sistem Informasi Geografis Berbasis Internet, Skripsi, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM, Yogyakarta.
Julzarika, A., 2008. Differential of Digital Surface Model (DSM) to be Digital Elevation Model (DEM) from ALOS Satellite Imagery Using Least Square Adjustment Computation. Young Scientist Award-ASAIHL Scopus 2008 (nominee). Thailand
Li, Z., Zhu, Q., and Gold, C., 2005. Digital Terrain Modeling Principles and Methodology. CRC Press. Florida. USA.
Widjajanti, N.,dan Sutanta, H. 2006: Model Permukaan Digital, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universtas Gadjah Mada, Yogyakarta.