Kajian Penghitungan Volume Hutan Menggunakan Model 3D dari Data Radar
Berbeda Band dan Koreksi Terrain Model 3D dari Data Radar Satu Band
Atriyon
Julzarika
ABSTRAK
Data radar merupakan citra yang menggunakan sensor aktif dan memiliki
kelebihan bebas efek awan. Data radar dapat dibuat model 3D secara
interferometri dan stereo Synthetic
Aperture Radar (SAR). Model 3D yang
dihasilkan berupa Digital Surface Model
(DSM). Jenis band yang digunakan pada data radar ini berpengaruh pada kualitas
DSM yang dihasilkan. Band X memiliki penetrasi rendah, hanya pada tajuk pohon. Kemudian band C
memiliki penetrasi lebih tinggi, diikuti band L, dan paling baik band P.
Penetrasi band P sudah mencapai tanah. Selisih
antara DSM band X atau band C terhadap DSM band L atau band P akan menghasilkan
volume tertentu, salah satunya untuk volume vegetasi (hutan). Jika hanya
memiliki satu DSM band X atau band C saja, maka dapat dilakukan koreksi terrain
untuk penentuan volume hutan. Koreksi terrain ini merupakan proses mengubah
model DSM menjadi Digital Elevation Model
(DEM) maupun ke Digital Terrain Model
(DTM). Selisih antara DSM terhadap DEM maupun DTM ini akan menghasilkan volume
tertentu, salah satunya volume hutan. Hasil penghitungan volume hutan ini bisa
digunakan untuk berbagai aplikasi keteknikan seperti untuk penghitungan karbon,
penghitungan volume produksi hutan dan lain-lain.
Kata kunci:
Radar, Model 3D, Volume Hutan
I. Pendahuluan
Saat ini
perkembangan teknik geodesi dan geomatika dalam perkembangan teknologi
geospasial sudah memiliki kemajuan drastis. Salah satunya adalah perkembangan
berbagai jenis satelit untuk pemetaan yang menghasilkan informasi geospasial. Penginderaan
jauh sebagai salah satu cabang dari fotogrammeteri yang merupakan bagian dari
teknik geodesi dan geomatika telah mampu menjadi alternatif dalam survei
pemetaan cepat dan teliti dalam menghasilkan informasi geospasial. Salah satu
aplikasinya adalah dalam membuat model 3D dan berbagai aplikasi yang
dihasilkan. Berbagai aplikasi pemetaan seperti model 3D, geostatistik, dan
lain-lain menggunakan hitung perataan. Selain hitung perataan, konsep jaring
kontrol geodetik juga akan berpengaruh terhadap penyelesaian aplikasi pemetaan
yang bersifat unik (Julzarika, 2007).
Model 3D
merupakan model yang dibentuk secara tiga dimensi dengan sistem tinggi,
proyeksi, dan datum tertentu serta dengan referensi bidang tinggi tertentu (Li
et al. 2001). Ada beberapa jenis model 3D, yaitu DSM, DEM, DTM, dan EGM (Li et
al., 2005). DSM merupakan model 3D yang masih memiliki objek permukaan seperti
bangunan dan vegetasi yang memiliki referensi tinggi terhadap ellipsoid. DEM adalah model 3D dalam bentuk
bare earth atau sudah tidak memiliki objek permukaan serta memiliki referensi
tinggi terhadap ellipsoid. DTM adalah model 3D yang memiliki tinggi fisis
berupa topografi dan memiliki referensi tinggi terhadap mean sea level.
Sedangkan EGM adalah model 3D berupa model geoid yang memiliki referensi tinggi
terhadap bidang ekuipotensial yang berimpit dengan permukaan laut. Model 3D
dapat dibuat dari data radar dan optik. Pada tulisan ini pembentukan model 3D
lebih fokus pada data radar, yaitu Synthetic
Aperture Radar (SAR).
Citra SAR
adalah citra yang diperoleh dari perekaman menggunakan sensor aktif. Citra ini
memiliki ciri khas tertentu, yaitu bebas efek awan. Saat ini ada beberapa citra
SAR, yaitu dari satelit dan airborne. Contoh citra radar dari satelit adalah
citra TerraSAR X, X SAR, SRTM C, Envisat, Radarsat, Cosmo SkyMed, ALOS Palsar,
JERS. Sedangkan contoh citra SAR dari airborne adalah IFSAR dan LIDAR.
Citra radar memiliki beberapa
jenis band, diantaranya X, C, L, P. Keseluruhan band tersebut dapat dibuat
model 3D, hanya berbeda dari bidang referensi tinggi saja. Model
3D citra SAR dapat dibuat dengan metode perbedaan fase (interferometri) dan
stereoSAR (Knopfle, 1998). Model
3D dari X band hanya penetrasi pada tajuk pohon dan atap bangunan. Model 3D X
band dapat dibuat dari Citra TerraSAR X, X SAR. Model 3D C
band sudah penetrasi lebih baik dari X band. Model 3D C band dapat dibuat dari
SRTM, Envisat, Cosmo SkyMed. Sedangkan model 3D L band sudah penetrasi sampai
mendekati permukaan tanah atau sekitar 1-3 m dari permukaan tanah. Model 3D L
band dapat dibuat dari ALOS Palsar. Model
3D P band memiliki penetrasi paling jauh, yaitu mencapai permukaan tanah. Model
3D P band bisa dibuat dari Envisat, IFSAR, LIDAR.
Volume hutan yang dimaksud adalah
volume dari perhitungan luas kanopi terhadap tinggi objek permukaan. Tinggi
objek ini dapat diketahui dari perbedaan tinggi bidang referensi. Beda tinggi
dengan akurasi tinggi dapat diperoleh dari model 3D X band terhadap model 3D P
band. Sedangkan beda tinggi dengan akurasi rendah diperoleh
dari model 3D C band terhadap model 3D L band.
Koreksi
terrain yang dimaksud pada tulisan ini adalah melakukan koreksi dari DSM
menjadi DEM/DTM sehingga semua menjadi bare
earth atau unsur permukaan sudah tidak ada lagi. Penelitian ini bertujuan
untuk penghitungan volume hutan menggunakan model 3D dari data radar berbeda
band dan melakukan koreksi terrain model 3D dari data radar satu band.
II. Metodologi
Penelitian
Penelitian ini menggunakan diagram
alir pada gambar 1.
Gambar
1.
Diagram alir penelitian
Pada penelitian
ini mengkaji tentang penghitungan volume hutan menggunakan model 3D dari data
radar beda band dan koreksi terrain model 3D dari data satu band. Pada kajian
data radar beda band menggunakan DEM1 X SAR untuk X band (DLR, 2010), SRTM C
untuk C band, ALOS Palsar untuk L band, dan IFSAR untuk P band. Model 3D
tersebut perlu dilakukan koreksi Bull Eye’s dengan tujuan untuk menghilangkan
nilai anomali tinggi terhadap delapan nilai tinggi sekitarnya.
Koreksi Bull
Eye’s perlu dilakukan terhadap model 3D dari berbagai data masukan. Ada tiga metode untuk koreksi
bull eye’s, yaitu fill sink, cut terrain, dan height error map. Pada penelitian
ini membahas koreksi Bull Eye’s dengan metode height error map. Height error
dibuat dari nilai standar deviasi atau eror vertikal pada data model 3D
tersebut. Height error dapat dibuat dari data itu sendiri.
Setelah
dilakukan koreksi Bull Eye’s, maka perlu dilakukan koreksi undulasi geoid.
Koreksi ini bertujuan untuk menyamakan bidang referensi tinggi terhadap geoid
yang sama dengan akurasi tinggi dan presisi baik (Heiskanen and Moritz, 1967).
Penyamaan bidang referensi tinggi ini akan menghasilkan data yang sama pada
bidang ekuipotensial sama yang berimpit dengan mean sea level pada satu periode pasang surut (Wellenhof, B.H., and
Moritz, H., 2006). Koreksi undulasi geoid menggunakan EGM2008.
Model 3D
yang memiliki bidang referensi tinggi sama ini akan menghasilkan kualitas
presisi yang baik. Jika ada dua atau lebih model 3D, maka bisa diaplikasikan
terhadap penghitungan volume hutan. Jika hanya ada satu model 3D, maka
diperlukan koreksi terrain yang bertujuan untuk mengubah objek permukaan
menjadi permukaan tanah tanpa ada objek permukaan. Koreksi terrain ini secara
umum berarti mengubah DSM menjadi DEM atau DTM. Proses pengubahan DSM menjadi
DEM ini bisa dilakukan dengan menggunakan range tertentu. Pendefinisian range
tersebut menggunakan hitung perataan.
III. Hasil dan Pembahasan
Volume
permukaan yang dimaksud pada penelitian ini adalah nilai volume pada berbagai
objek kelas, mulai dari permukaan objek sampai permukaan tanah. Secara
sederhana, volume vegetasi dapat dihitung dari parameter tinggi vegetasi yang
dikalikan terhadap luasan kanopi. Data penginderaan jauh dapat digunakan untuk
aplikasi penghitungan volume permukaan, yaitu model 3D dari data radar. Citra
SAR memiliki beberapa jenis band, yaitu X, C, L, P band yang memiliki perbedaan
pendefinisian dalam bidang referensi tinggi permukaan. Model 3D dari SAR X Band
hanya mampu memetakan pada permukaan objek bangunan maupun tajuk. SAR dengan C
Band memiliki penetrasi lebih tajam, demikian pula dengan SAR L Band. SAR P band bisa melakukan
penetrasi sampai ke permukaan tanah. Tinggi objek dapat diketahui dari beda
referensi tinggi antara X atau C band terhadap L atau P band. Ilustrasi ini
dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar
2. Metode model 3D dari band radar yang berbeda
Contoh DSM X Band adalah DEM1 X
SAR, TerraSAR X. Contoh DSM C Band adalah SRTM C, ENVISAT, Cosmo SkyMed. Contoh
DSM L Band adalah ALOS Palsar, sedangkan contoh DSM P Band ENVISAT, Airborne.
Koreksi surface yang memiliki akurasi tinggi adalah DSM X Band - DSM P Band sedangkan koreksi surface yang
memiliki akurasi rendah adalah DSM C Band – DSM L Band.
Kemudian luas objek atau kanopi
pada vegetasi dapat diketahui dari hasil segmentasi berbasis objek. Setelah itu
baru dilakukan penghitungan volume yang melibatkan tinggi objek dan luas objek.
Jika telah diketahui besar volume permukaan, terutama pada vegetasi maka hal
ini dapat diaplikasikan terhadap berbagai aplikasi teknik. Salah satu aplikasi
tersebut adalah untuk carbon stoke taking, pemantauan kondisi tutupan lahan di
DAS, pemantauan kondisi hutan, pemantauan daya dukung lingkungan, pemantauan
dan mitigasi bencana, serta mengetahui potensi ekonomi dari produksi hutan.
Pada
penelitian ini, kajian volume permukaan dilakukan di wilayah Kalimantan dengan
menggunakan model 3D DEM1 X SAR (Gambar 3) yang dibandingkan terhadap DEM ALOS
Palsar yang dibuat secara interferometri.
Gambar
3. DEM1 X SAR wilayah kajian
DEM1 X SAR ini terlebih dahulu
dilakukan koreksi Bull Eye’s berdasarkan height error maps yang dibuat dari
data itu sendiri, pada gambar 4.
Gambar
4a. tampilan height error maps
wilayah kajian ; 4b. EGM2008
Setelah dilakukan koreksi Bull
Eye’s, maka dilakukan koreksi terrain terhadap EGM2008, gambar 4b.. Hasil yang
diperoleh akan merepresentasikan kondisi DSM dengan permukaan di tajuk pohon
pada wilayah kajian di tahun 2000, sesuai dengan data DEM1 X SAR. Gambar 5 merupakan hasil koreksi Bull Eye’s
dan model 3D hasil koreksi undulasi geoid terhadap EGM2008.
Gambar 5a. DEM1 X SAR hasil koreksi Bull Eye’s
5b. DEM1 X SAR hasil koreksi undulasi geoid terhadap EGM2008
Kemudian
dibuat juga model 3D dari ALOS Palsar secara interferometri. Hasil yang
diperoleh akan merepresentasikan kondisi DSM dengan permukaan lebih dekat pada
tanah. DEM ALOS Palsar ini merupakan kondisi model 3D tahun 2010, gambar 6.
Gambar 6. Model 3D ALOS Palsar
Sebagai
perbandingan, DEM1 X SAR (X Band), DEM ALOS Palsar (L Band) akan memiliki pola
dan tekstur yang hampir sama dengan DEM SRTM90 (C Band), hanya dibedakan dari
kondisi tinggi objek saja yang sesuai dengan kemampuan penetrasi band. Gambar 7
merupakan tampilan DEM SRTM90 wilayah kajian.
Gambar
7. Tampilan DEM SRTM90
Kedua model
3D tersebut sudah bisa digunakan untuk aplikasi volume permukaan (gambar 8).
Selain itu juga bisa digunakan untuk mendeteksi perubahan tutupan lahan,
terutama akibat ilegal logging. Cara mendeteksinya adalah dengan membandingkan
objek yang sama pada kedua model 3D, misal pada data 2000 masih berupa hutan,
sedangkan pada tahun 2010 sudah berupa tanah terbuka, maka dapat diketahui
bahwa telah terjadi perubahan hutan menjadi tanah terbuka pada wilayah
tersebut.
Gambar
8.
Volume permukaan hutan
Penentuan volume permukaan dari
kedua model 3D tersebut akan merepresentasikan kondisi di lapangan. Pada
wilayah kajian diperoleh tinggi maksimal sebesar 30 m dengan rata-rata tinggi
objek sekitar 10 m. Volume permukaan dapat diperoleh jika luas tinggi setiap
objek dikalikan terhadap luas objek. Jika dalam penentuan volume permukaan
tidak memiliki dua atau lebih model 3D, maka dapat dilakukan pembuatan DEM baru
dengan koreksi terrain. Koreksi terrain yang dimaksud pada tulisan ini adalah
melakukan koreksi model 3D dengan mengubah permukaan objek menjadi permukaan
tanah/elevasi atau dengan menghilangkan semua objek yang ada sehingga
menghasilkan kondisi bare earth. Koreksi terrain pada DEM 1 X SAR ini diharapkan akan
menghasilkan model 3D yang mirip dari ALOS Palsar. Koreksi terrain ini
menggunakan persamaan sederhana dengan memperhitungkan nilai standar deviasi
setiap objek. Persamaan
yang digunakan adalah sebagai berikut.
Range tersebut menggunakan kisaran (Julzarika
dan Sudarsono, 2009).
a. Tinggi masing-masing titik penelitian
adalah hi meter
b. Range arah sumbu x : X-dxi s/d
X+dxi
Maka range X = X (pada penelitian
ini lebih mengutamakan elevasi/sumbu z)
c. Range arah sumbu y : Y-dyi s/d
Y+dyi
Maka range Y = Y (pada penelitian
ini lebih mengutamakan elevasi/sumbu z)
d. Range arah sumbu z : Z-dzi s/d
Z+dzi
Koreksi terrain DEM1 X SAR setelah dilakukan koreksi Bull
Eye’s dan koreksi undulasi geoid.
Gambar 9. DEM 1 X SAR (koreksi Bull Eye’s)
Gambar 10 adalah tampilan DEM1
X SAR yang dilakukan koreksi terrain.
Gambar 10. DEM 1 X SAR (koreksi
terrain)
Koreksi
terrain Model 3D ALOS Palsar setelah dilakukan koreksi Bull Eye’s dan koreksi
undulasi geoid.
Gambar 11. Model 3D ALOS Palsar (koreksi terrain)
Jika
dibandingkan dengan model 3D ALOS Palsar, maka memiliki kemiripan dengan
kondisi akurasi vertikal yang hampir mirip. Gambar 12 adalah tampilan selisih
DEM1 X SAR koreksi terrain dengan model 3D ALOS Palsar.
Gambar 12. Selisih beda tinggi DEM1 X SAR terhadap Model 3D ALOS
Palsar
Pada
model 3D ALOS Palsar juga dapat dibuat model 3D yang berada pada bidang
topografi atau dalam kondisi DTM. Secara sederhana, dilakukan koreksi terrain
terhadap model 3D ALOS Palsar. Hasil yang diperoleh akan mendekati kondisi DTM
atau hampir sama dengan model 3D dari penetrasi band P. Gambar 13 merupakan
tampilan DTM ALOS Palsar.
Gambar
13. DTM ALOS Palsar
Kondisi
DEM1 X SAR dan DEM1 X SAR koreksi terrain ini bisa digunakan untuk penentuan
volume permukaan. Hal ini bisa dijadikan alternatif jika tidak memiliki dua
atau lebih model 3D pada wilayah kajian. Secara pengujian geostatistik,
diperoleh nilai akurasi vertikal sekitar 3-4 m. Kondisi ini meningkat hampir 2
kali lebih tinggi dibandingkan dengam akurasi vertikal DEM1 X SAR, yaitu
sekitar 5-6 m. Koreksi terrain model 3D akan menjadi salah satu alternatif
penyelesaian masalah untuk aplikasi penghitungan volume permukaan.
IV. Kesimpulan
Pada tulisan ini ada tiga
kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan, yaitu:
1.
DEM1
X SAR yang dikoreksi Bull Eye’s terhadap height error data itu sendiri, koreksi
referensi bidang tinggi terhadap EGM2008 akan menghasilkan akurasi vertikal
hampir 2 kali lebih tinggi.
2.
DEM1
X SAR bisa digunakan untuk penentuan penentuan volume permukaan dengan akurasi
tinggi dan presisi baik, serta untuk aplikasi pemetaan lainnya jika dibandingkan
dengan model 3D ALOS Palsar.
3. DEM1
X SAR bisa dilakukan koreksi terrain sehingga akan menghasilkan nilai elevasi
tanpa ada objek surface dan menghasilkan kondisi terrain yang hampir sama
dengan model 3D ALOS Palsar.
DLR, 2010. SRTM-DLR. German Aerospace Center. Germany.
Heiskanen, W. A., and Moritz, H.,
1967, Physical Geodesy, W. H. Freeman and Company, San Fransisco and
London.
Julzarika, A., 2007, Analysis of Coordinates Changing Caused by
the Changing of Map File Types in Developing Internet Based Geographic
Information System, Geodesy and Geomatics Engineering, Faculty of
Engineering, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Indonesia.
Julzarika,
A. and Sudarsono, B., 2009. differential of Digital Surface Model (DSM) into Digital Elevation Model (DEM) of the ALOS Palsar. Journal of Teknik University of Diponegoro. Semarang.
Indonesia.
Knopfle, W., Strunz, G., Roth,
A., 1998. Mosaiking of Digital Elevation
Models Derived by SAR Interferometry. IAPRS, Vol. 32 part 4. Stuttgart,
Germany.
Li, Xiong., and Gotze.
Hans-Jurgen., 2001, Tutorial Ellipsoid,
geoid, gravity, geodesy, and geophysics, Geophysics, Vol.66, No.6,
P.1660-1668, November-December 2001.
Li, Z., Zhu, Q., and Gold, C.,
2005. Digital Terrain Modeling Principles and Methodology. CRC Press.
Florida. USA.
Wellenhof, B.H., and Moritz, H.,
2006, Physical Geodesy, Second
corrected edition, SpriengerWienNewYork, New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar