Rabu, 08 Mei 2013

Kajian Penghitungan Volume Hutan Menggunakan Model 3D dari Data Radar Berbeda Band dan Koreksi Terrain Model 3D dari Data Radar Satu Band



Kajian Penghitungan Volume Hutan Menggunakan Model 3D dari Data Radar Berbeda Band dan Koreksi Terrain Model 3D dari Data Radar Satu Band

Atriyon Julzarika


ABSTRAK
Data radar merupakan citra yang menggunakan sensor aktif dan memiliki kelebihan bebas efek awan. Data radar dapat dibuat model 3D secara interferometri dan stereo Synthetic Aperture Radar (SAR). Model 3D yang dihasilkan berupa Digital Surface Model (DSM). Jenis band yang digunakan pada data radar ini berpengaruh pada kualitas DSM yang dihasilkan. Band X memiliki penetrasi rendah, hanya pada tajuk pohon. Kemudian band C memiliki penetrasi lebih tinggi, diikuti band L, dan paling baik band P. Penetrasi band P sudah mencapai tanah. Selisih antara DSM band X atau band C terhadap DSM band L atau band P akan menghasilkan volume tertentu, salah satunya untuk volume vegetasi (hutan). Jika hanya memiliki satu DSM band X atau band C saja, maka dapat dilakukan koreksi terrain untuk penentuan volume hutan. Koreksi terrain ini merupakan proses mengubah model DSM menjadi Digital Elevation Model (DEM) maupun ke Digital Terrain Model (DTM). Selisih antara DSM terhadap DEM maupun DTM ini akan menghasilkan volume tertentu, salah satunya volume hutan. Hasil penghitungan volume hutan ini bisa digunakan untuk berbagai aplikasi keteknikan seperti untuk penghitungan karbon, penghitungan volume produksi hutan dan lain-lain.
Kata kunci: Radar, Model 3D, Volume Hutan

I. Pendahuluan
Saat ini perkembangan teknik geodesi dan geomatika dalam perkembangan teknologi geospasial sudah memiliki kemajuan drastis. Salah satunya adalah perkembangan berbagai jenis satelit untuk pemetaan yang menghasilkan informasi geospasial. Penginderaan jauh sebagai salah satu cabang dari fotogrammeteri yang merupakan bagian dari teknik geodesi dan geomatika telah mampu menjadi alternatif dalam survei pemetaan cepat dan teliti dalam menghasilkan informasi geospasial. Salah satu aplikasinya adalah dalam membuat model 3D dan berbagai aplikasi yang dihasilkan. Berbagai aplikasi pemetaan seperti model 3D, geostatistik, dan lain-lain menggunakan hitung perataan. Selain hitung perataan, konsep jaring kontrol geodetik juga akan berpengaruh terhadap penyelesaian aplikasi pemetaan yang bersifat unik (Julzarika, 2007).
Model 3D merupakan model yang dibentuk secara tiga dimensi dengan sistem tinggi, proyeksi, dan datum tertentu serta dengan referensi bidang tinggi tertentu (Li et al. 2001). Ada beberapa jenis model 3D, yaitu DSM, DEM, DTM, dan EGM (Li et al., 2005). DSM merupakan model 3D yang masih memiliki objek permukaan seperti bangunan dan vegetasi yang memiliki referensi tinggi terhadap ellipsoid. DEM adalah model 3D dalam bentuk bare earth atau sudah tidak memiliki objek permukaan serta memiliki referensi tinggi terhadap ellipsoid. DTM adalah model 3D yang memiliki tinggi fisis berupa topografi dan memiliki referensi tinggi terhadap mean sea level. Sedangkan EGM adalah model 3D berupa model geoid yang memiliki referensi tinggi terhadap bidang ekuipotensial yang berimpit dengan permukaan laut. Model 3D dapat dibuat dari data radar dan optik. Pada tulisan ini pembentukan model 3D lebih fokus pada data radar, yaitu Synthetic Aperture Radar (SAR).
Citra SAR adalah citra yang diperoleh dari perekaman menggunakan sensor aktif. Citra ini memiliki ciri khas tertentu, yaitu bebas efek awan. Saat ini ada beberapa citra SAR, yaitu dari satelit dan airborne. Contoh citra radar dari satelit adalah citra TerraSAR X, X SAR, SRTM C, Envisat, Radarsat, Cosmo SkyMed, ALOS Palsar, JERS. Sedangkan contoh citra SAR dari airborne adalah IFSAR dan LIDAR.
Citra radar memiliki beberapa jenis band, diantaranya X, C, L, P. Keseluruhan band tersebut dapat dibuat model 3D, hanya berbeda dari bidang referensi tinggi saja. Model 3D citra SAR dapat dibuat dengan metode perbedaan fase (interferometri) dan stereoSAR (Knopfle, 1998). Model 3D dari X band hanya penetrasi pada tajuk pohon dan atap bangunan. Model 3D X band dapat dibuat dari Citra TerraSAR X, X SAR. Model 3D C band sudah penetrasi lebih baik dari X band. Model 3D C band dapat dibuat dari SRTM, Envisat, Cosmo SkyMed. Sedangkan model 3D L band sudah penetrasi sampai mendekati permukaan tanah atau sekitar 1-3 m dari permukaan tanah. Model 3D L band dapat dibuat dari ALOS Palsar. Model 3D P band memiliki penetrasi paling jauh, yaitu mencapai permukaan tanah. Model 3D P band bisa dibuat dari Envisat, IFSAR, LIDAR.
Volume hutan yang dimaksud adalah volume dari perhitungan luas kanopi terhadap tinggi objek permukaan. Tinggi objek ini dapat diketahui dari perbedaan tinggi bidang referensi. Beda tinggi dengan akurasi tinggi dapat diperoleh dari model 3D X band terhadap model 3D P band. Sedangkan beda tinggi dengan akurasi rendah diperoleh dari model 3D C band terhadap model 3D L band.
Koreksi terrain yang dimaksud pada tulisan ini adalah melakukan koreksi dari DSM menjadi DEM/DTM sehingga semua menjadi bare earth atau unsur permukaan sudah tidak ada lagi. Penelitian ini bertujuan untuk penghitungan volume hutan menggunakan model 3D dari data radar berbeda band dan melakukan koreksi terrain model 3D dari data radar satu band.

II. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan diagram alir pada gambar 1.


 
Gambar 1. Diagram alir penelitian

Pada penelitian ini mengkaji tentang penghitungan volume hutan menggunakan model 3D dari data radar beda band dan koreksi terrain model 3D dari data satu band. Pada kajian data radar beda band menggunakan DEM1 X SAR untuk X band (DLR, 2010), SRTM C untuk C band, ALOS Palsar untuk L band, dan IFSAR untuk P band. Model 3D tersebut perlu dilakukan koreksi Bull Eye’s dengan tujuan untuk menghilangkan nilai anomali tinggi terhadap delapan nilai tinggi sekitarnya.
Koreksi Bull Eye’s perlu dilakukan terhadap model 3D dari berbagai data masukan. Ada tiga metode untuk koreksi bull eye’s, yaitu fill sink, cut terrain, dan height error map. Pada penelitian ini membahas koreksi Bull Eye’s dengan metode height error map. Height error dibuat dari nilai standar deviasi atau eror vertikal pada data model 3D tersebut. Height error dapat dibuat dari data itu sendiri.
Setelah dilakukan koreksi Bull Eye’s, maka perlu dilakukan koreksi undulasi geoid. Koreksi ini bertujuan untuk menyamakan bidang referensi tinggi terhadap geoid yang sama dengan akurasi tinggi dan presisi baik (Heiskanen and Moritz, 1967). Penyamaan bidang referensi tinggi ini akan menghasilkan data yang sama pada bidang ekuipotensial sama yang berimpit dengan mean sea level pada satu periode pasang surut (Wellenhof, B.H., and Moritz, H., 2006). Koreksi undulasi geoid menggunakan EGM2008.
Model 3D yang memiliki bidang referensi tinggi sama ini akan menghasilkan kualitas presisi yang baik. Jika ada dua atau lebih model 3D, maka bisa diaplikasikan terhadap penghitungan volume hutan. Jika hanya ada satu model 3D, maka diperlukan koreksi terrain yang bertujuan untuk mengubah objek permukaan menjadi permukaan tanah tanpa ada objek permukaan. Koreksi terrain ini secara umum berarti mengubah DSM menjadi DEM atau DTM. Proses pengubahan DSM menjadi DEM ini bisa dilakukan dengan menggunakan range tertentu. Pendefinisian range tersebut menggunakan hitung perataan.

III. Hasil dan Pembahasan
Volume permukaan yang dimaksud pada penelitian ini adalah nilai volume pada berbagai objek kelas, mulai dari permukaan objek sampai permukaan tanah. Secara sederhana, volume vegetasi dapat dihitung dari parameter tinggi vegetasi yang dikalikan terhadap luasan kanopi. Data penginderaan jauh dapat digunakan untuk aplikasi penghitungan volume permukaan, yaitu model 3D dari data radar. Citra SAR memiliki beberapa jenis band, yaitu X, C, L, P band yang memiliki perbedaan pendefinisian dalam bidang referensi tinggi permukaan. Model 3D dari SAR X Band hanya mampu memetakan pada permukaan objek bangunan maupun tajuk. SAR dengan C Band memiliki penetrasi lebih tajam, demikian pula dengan SAR L Band. SAR P band bisa melakukan penetrasi sampai ke permukaan tanah. Tinggi objek dapat diketahui dari beda referensi tinggi antara X atau C band terhadap L atau P band. Ilustrasi ini dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Metode model 3D dari band radar yang berbeda

Contoh DSM X Band adalah DEM1 X SAR, TerraSAR X. Contoh DSM C Band adalah SRTM C, ENVISAT, Cosmo SkyMed. Contoh DSM L Band adalah ALOS Palsar, sedangkan contoh DSM P Band ENVISAT, Airborne. Koreksi surface yang memiliki akurasi tinggi adalah DSM X Band -  DSM P Band sedangkan koreksi surface yang memiliki akurasi rendah adalah DSM C Band – DSM L Band.
Kemudian luas objek atau kanopi pada vegetasi dapat diketahui dari hasil segmentasi berbasis objek. Setelah itu baru dilakukan penghitungan volume yang melibatkan tinggi objek dan luas objek. Jika telah diketahui besar volume permukaan, terutama pada vegetasi maka hal ini dapat diaplikasikan terhadap berbagai aplikasi teknik. Salah satu aplikasi tersebut adalah untuk carbon stoke taking, pemantauan kondisi tutupan lahan di DAS, pemantauan kondisi hutan, pemantauan daya dukung lingkungan, pemantauan dan mitigasi bencana, serta mengetahui potensi ekonomi dari produksi hutan.
Pada penelitian ini, kajian volume permukaan dilakukan di wilayah Kalimantan dengan menggunakan model 3D DEM1 X SAR (Gambar 3) yang dibandingkan terhadap DEM ALOS Palsar yang dibuat secara interferometri.

Gambar 3. DEM1 X SAR wilayah kajian

DEM1 X SAR ini terlebih dahulu dilakukan koreksi Bull Eye’s berdasarkan height error maps yang dibuat dari data itu sendiri, pada gambar 4.
        

Gambar 4a. tampilan height error maps wilayah kajian  ;  4b. EGM2008

Setelah dilakukan koreksi Bull Eye’s, maka dilakukan koreksi terrain terhadap EGM2008, gambar 4b.. Hasil yang diperoleh akan merepresentasikan kondisi DSM dengan permukaan di tajuk pohon pada wilayah kajian di tahun 2000, sesuai dengan data DEM1 X SAR.  Gambar 5 merupakan hasil koreksi Bull Eye’s dan model 3D hasil koreksi undulasi geoid terhadap EGM2008.

Gambar 5a. DEM1 X SAR hasil koreksi Bull Eye’s   5b. DEM1 X SAR hasil koreksi undulasi geoid terhadap EGM2008

Kemudian dibuat juga model 3D dari ALOS Palsar secara interferometri. Hasil yang diperoleh akan merepresentasikan kondisi DSM dengan permukaan lebih dekat pada tanah. DEM ALOS Palsar ini merupakan kondisi model 3D tahun 2010, gambar 6.

Gambar 6. Model 3D ALOS Palsar

Sebagai perbandingan, DEM1 X SAR (X Band), DEM ALOS Palsar (L Band) akan memiliki pola dan tekstur yang hampir sama dengan DEM SRTM90 (C Band), hanya dibedakan dari kondisi tinggi objek saja yang sesuai dengan kemampuan penetrasi band. Gambar 7 merupakan tampilan DEM SRTM90 wilayah kajian.
Gambar 7. Tampilan DEM SRTM90

Kedua model 3D tersebut sudah bisa digunakan untuk aplikasi volume permukaan (gambar 8). Selain itu juga bisa digunakan untuk mendeteksi perubahan tutupan lahan, terutama akibat ilegal logging. Cara mendeteksinya adalah dengan membandingkan objek yang sama pada kedua model 3D, misal pada data 2000 masih berupa hutan, sedangkan pada tahun 2010 sudah berupa tanah terbuka, maka dapat diketahui bahwa telah terjadi perubahan hutan menjadi tanah terbuka pada wilayah tersebut.



Gambar 8. Volume permukaan hutan

Penentuan volume permukaan dari kedua model 3D tersebut akan merepresentasikan kondisi di lapangan. Pada wilayah kajian diperoleh tinggi maksimal sebesar 30 m dengan rata-rata tinggi objek sekitar 10 m. Volume permukaan dapat diperoleh jika luas tinggi setiap objek dikalikan terhadap luas objek. Jika dalam penentuan volume permukaan tidak memiliki dua atau lebih model 3D, maka dapat dilakukan pembuatan DEM baru dengan koreksi terrain. Koreksi terrain yang dimaksud pada tulisan ini adalah melakukan koreksi model 3D dengan mengubah permukaan objek menjadi permukaan tanah/elevasi atau dengan menghilangkan semua objek yang ada sehingga menghasilkan kondisi bare earth. Koreksi terrain pada DEM 1 X SAR ini diharapkan akan menghasilkan model 3D yang mirip dari ALOS Palsar. Koreksi terrain ini menggunakan persamaan sederhana dengan memperhitungkan nilai standar deviasi setiap objek. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut.
Range tersebut menggunakan kisaran (Julzarika dan Sudarsono, 2009).
a. Tinggi masing-masing titik penelitian adalah hi meter
b. Range arah sumbu x : X-dxi s/d X+dxi
Maka range X = X (pada penelitian ini lebih mengutamakan elevasi/sumbu z)
c. Range arah sumbu y : Y-dyi s/d Y+dyi
Maka range Y = Y (pada penelitian ini lebih mengutamakan elevasi/sumbu z)
d. Range arah sumbu z : Z-dzi s/d Z+dzi
Koreksi terrain DEM1 X SAR setelah dilakukan koreksi Bull Eye’s dan koreksi undulasi geoid.
Gambar 9. DEM 1 X SAR (koreksi Bull Eye’s)

Gambar 10 adalah tampilan DEM1 X SAR yang dilakukan koreksi terrain.

 Gambar 10. DEM 1 X SAR (koreksi terrain)

Koreksi terrain Model 3D ALOS Palsar setelah dilakukan koreksi Bull Eye’s dan koreksi undulasi geoid.

Gambar 11. Model 3D ALOS Palsar (koreksi terrain)

Jika dibandingkan dengan model 3D ALOS Palsar, maka memiliki kemiripan dengan kondisi akurasi vertikal yang hampir mirip. Gambar 12 adalah tampilan selisih DEM1 X SAR koreksi terrain dengan model 3D ALOS Palsar.

 Gambar 12. Selisih beda tinggi DEM1 X SAR terhadap Model 3D ALOS Palsar

Pada model 3D ALOS Palsar juga dapat dibuat model 3D yang berada pada bidang topografi atau dalam kondisi DTM. Secara sederhana, dilakukan koreksi terrain terhadap model 3D ALOS Palsar. Hasil yang diperoleh akan mendekati kondisi DTM atau hampir sama dengan model 3D dari penetrasi band P. Gambar 13 merupakan tampilan DTM ALOS Palsar.

Gambar 13. DTM ALOS Palsar

Kondisi DEM1 X SAR dan DEM1 X SAR koreksi terrain ini bisa digunakan untuk penentuan volume permukaan. Hal ini bisa dijadikan alternatif jika tidak memiliki dua atau lebih model 3D pada wilayah kajian. Secara pengujian geostatistik, diperoleh nilai akurasi vertikal sekitar 3-4 m. Kondisi ini meningkat hampir 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengam akurasi vertikal DEM1 X SAR, yaitu sekitar 5-6 m. Koreksi terrain model 3D akan menjadi salah satu alternatif penyelesaian masalah untuk aplikasi penghitungan volume permukaan.

IV. Kesimpulan
Pada tulisan ini ada tiga kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan, yaitu:
1.   DEM1 X SAR yang dikoreksi Bull Eye’s terhadap height error data itu sendiri, koreksi referensi bidang tinggi terhadap EGM2008 akan menghasilkan akurasi vertikal hampir 2 kali lebih tinggi.
2.   DEM1 X SAR bisa digunakan untuk penentuan penentuan volume permukaan dengan akurasi tinggi dan presisi baik, serta untuk aplikasi pemetaan lainnya jika dibandingkan dengan model 3D ALOS Palsar.
3.   DEM1 X SAR bisa dilakukan koreksi terrain sehingga akan menghasilkan nilai elevasi tanpa ada objek surface dan menghasilkan kondisi terrain yang hampir sama dengan model 3D ALOS Palsar.

Daftar Pustaka
DLR, 2010. SRTM-DLR. German Aerospace Center. Germany.
Heiskanen, W. A., and Moritz, H., 1967, Physical Geodesy, W. H. Freeman and Company, San Fransisco and London.
Julzarika, A., 2007, Analysis of Coordinates Changing Caused by the Changing of Map File Types in Developing Internet Based Geographic Information System, Geodesy and Geomatics Engineering, Faculty of Engineering, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Indonesia.
Julzarika, A. and Sudarsono, B., 2009. differential of Digital Surface Model (DSM) into Digital Elevation Model (DEM) of the ALOS Palsar. Journal of Teknik University of Diponegoro. Semarang. Indonesia.
Knopfle, W., Strunz, G., Roth, A., 1998. Mosaiking of Digital Elevation Models Derived by SAR Interferometry. IAPRS, Vol. 32 part 4. Stuttgart, Germany.
Li, Xiong., and Gotze. Hans-Jurgen., 2001, Tutorial Ellipsoid, geoid, gravity, geodesy, and geophysics, Geophysics, Vol.66, No.6, P.1660-1668, November-December 2001.
Li, Z., Zhu, Q., and Gold, C., 2005. Digital Terrain Modeling Principles and Methodology. CRC Press. Florida. USA.
Wellenhof, B.H., and Moritz, H., 2006, Physical Geodesy, Second corrected edition, SpriengerWienNewYork, New York.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar