Kamis, 09 Mei 2013

Teknik Pemodelan 3D Citra Satelit LAPAN TUBSAT dengan Videogrammetri



Teknik Pemodelan 3D Citra Satelit LAPAN TUBSAT
dengan Videogrammetri
(Studi Kasus: Gunung Semeru)

Atriyon Julzarika
           

ABSTRACT
           
LAPAN TUBSAT imagery can be made in 3D model using Videogrammetry. These 3D model used stereo model concept, geodetic control network, and Kriging method. First, LAPAN TUBSAT imagery in the form of video was taken in two photo’s which have 60% overlay to create a stereo model. It needs to correct geometrically these two photo. After making 3D model, then geodetic control network that has been made can get ground control points from SRTM30. Kriging method that was resulted from geodetic control network was useful for making 3D model. 3D model needs statistical tests, they are display (athwart profile) and also geo-statistical. Its vertical accuracy was 5-9 m for SRTM30 with range 26-35 m. The research result concluded that LAPAN TUBSAT 3D model was created by Videogrammetry.
Keywords: 3D Model, LAPAN TUBSAT  Imagery, Videogrammetry

PENDAHULUAN
Satelit LAPAN TUBSAT merupakan salah satu satelit sumber daya alam yang digunakan untuk mengelola lingkungan dan memantau bencana alam. Satelit LAPAN TUBSAT adalah satelit buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional bekerjasama dengan Technical University of Berlin (TUB)1. Satelit LAPAN TUBSAT merupakan satelit mikro berbobot 55 kg untuk keperluan penginderaan jauh. Satelit LAPAN TUBSAT berbentuk kotak dengan dimensi 45x45x27 cm.
Pengembangan satelit didasarkan pada efisiensi biaya serta mempertimbangkan waktu perancangan dan pembuatan yang relatif singkat (2-3 tahun). Satelit LAPAN TUBSAT diluncurkan dengan roket buatan India. Roket Polar Satellite Launch Vehicle (PSLV) buatan India dipilih untuk mengorbitkan LAPAN TUBSAT. Roket ini telah memperlihatkan ketangguhannya dalam meluncurkan berbagai satelit orbit polar.
Satelit akan ditempatkan pada orbit lingkaran melalui kutub-kutub Bumi pada ketinggian 630 km dan kemiringan terhadap ekuator sebesar 97,90. Pada ketinggian ini satelit mengorbit Bumi sekali dalam 99 menit dan pergeseran setiap orbit akibat rotasi Bumi diperkirakan sebesar 24,80. Dua stasiun bumi dipersiapkan untuk mengendalikan LAPAN TUBSAT, yaitu di LAPAN Rumpin dan LAPAN-Stasiun Pengamat Dirgantara Biak.
Proses pengolahan citra meliputi konversi format video ke citra dan koreksi geometrik. Orientasi dari citra satelit ini memiliki kebalikan arah dengan citra satelit sumber daya alam yang lainnya. Citra satelit ini memiliki arah utara ke selatan magnetis Bumi dan arah selatan ke arah utara magnetis Bumi. Citra satelit ini juga bisa dibuat model stereo dengan hitung perataan kuadrat terkecil. Gambar (1) menjelaskan tentang konsep Videogrammetri.
Gambar 1. Cara perolehan gambar dengan metode Videogrammteri

 Videogrammetri adalah pengembangan dari Fotogrammetri. Fotogrammetri adalah suatu seni dan ilmu tentang prosedur dalam pengukuran objek berdasarkan lokasi dan bentuk2. Pengukuran ini dilakukan tanpa kontak langsung dengan objek tapi secara langsung pada gambar atau citra sebuah objek. Dari pergertian tersebut, Fotogrammetri mempunyai kedekatan pengertian dengan penginderaan jauh.
Videogrammetri adalah suatu teknologi pengukuran koordinat dalam bentuk tiga dimensi dari titik-titik pada suatu obyek yang ditentukan oleh pengukuran dengan sumber dari dua atau lebih gambar video dimana pengambilannya dari sudut pandang yang berbeda3. Gambar dapat diperoleh dari dua sudut pandang yang secara simultan menampilkan obyek atau berasal dari gambar berurutan yang ditangkap video yang sama dengan tampilan dari suatu obyek4, 5. Videogrammetri memperluas teknik metode close-range Photogrammetry dan menerapkannya ke dalam suatu urutan gambar untuk menyajikan atau menghasilkan suatu rangkaian model tiga dimensi yang diproduksi dengan menggunakan standar Fotogrammetri6. Videogrammetri pada citra LAPAN TUBSAT tersebut bertujuan untuk menghasilkan model 3D (Gunung Semeru) sehingga dapat digunakan untuk aplikasi vulkanologi.

LANDASAN TEORI
engambilan data LAPAN TUBSAT mempunyai kemiripan dengan pengambilan data satelit sumber daya alam lainnya. Model stereo yang digunakan pada satelit LAPAN TUBSAT juga sama dengan konsep stereo pada Fotogrammetri dan Videogrammetri. Gambar (2) adalah tentang teknik pengambilan data stereo LAPAN TUBSAT. Satelit LAPAN TUBSAT diilustrasikan dengan gambar kotak. Pergerakan satelit tersebut mempunyai arah dari timur ke barat dimana satelit melakukan pemotretan terhadap wilayah yang sama dalam beberapa kali.
 

  Gambar 2. LAPAN TUBSAT Target Pointing
Pada kondisi pemotretan pertama, satelit melakukan pemotretan terhadap wilayah A. Kemudian terjadi pergerakan satelit dari titik (1) menuju titik (2). Satelit juga melakukan pemotretan terhadap wilayah A dengan tumpang susun lebih besar dari 60%. Pergerakan satelit dari titk (1) ke titik (2) menggunakan sistem 4D dimana koordinat pada titik (1) sebesar (x1, y1, z1, t1) menuju titik (2) sebesar (x2, y2, z2, t2). Sistem pergerakan satelit LAPAN TUBSAT memiliki kemiripan dengan sistem satelit navigasi Glonass dan GPS. Tumpang susun dari pemotretan dari titik (1) dan titik (2) ini dapat dilakukan pengujian statistik secara hitung perataan kuadrat terkecil7, 8.
Kemudian satelit melakukan pergerakan dari titik (2) ke titik (3). Pemotretan dari titik (3) ini akan merekam kondisi wilayah A dengan overlap lebih besar dari 60%, pergerakan satelit dari titik (2) ke titik (3) ini menggunakan sistem 4D (x, y, z, t). Gambar (3) adalah tentang pemotretan strip untuk citra LAPAN TUBSAT.
 
Gambar 3. Pemotretan strip citra LAPAN TUBSAT

Tumpang susun dari pemotretan dari titik (1), ke titik (2), titik (3) merupakan pemotretan strip sehingga bisa dilakukan pengujian statistik secara hitung perataan bundle block9, 10. Gambar (4) adalah tampilan model stereo2.
Gambar 4. Konsep dasar model stereo

Interpretasi dan pengukuran gambar yang dilakukan dalam Fotogrammetri dapat berupa pembentukan model stereo11 dan model beda fase2. Demikian juga dengan Videogrammetri, pada bidang ini juga dapat dilakukan pembentukan model stereo dan model beda fase5. Model stereo adalah pembentukan model 3D yang terbentuk akibat perbedaan paralaks yang memiliki jarak basis terhadap dua pandangan yang berbeda dan mengarah pada satu titik yang sama pada kedua foto yang bertumpang susun2. Pada gambar (4) merupakan objek konvergen yang ditandai dengan γ dan sudut paralaks yang terbentuk sebesar d γ serta jarak basis sebesar bA.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan diagram alir pada gambar (5).


Gambar 5. Diagram alir penelitian

Pada penelitian ini mengkaji tentang cara pemodelan 3D dari citra LAPAN TUBSAT. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan sebelumnya tentang teknik penurunan Digital Surface Model (DSM) menjadi Digital Elevation Model (DEM). Pembentukan algoritma tetap menggunakan hitung perataan kuadrat terkecil (least square adjustment)12. Citra LAPAN TUBSAT yang digunakan adalah Gunung Semeru dengan akuisisi pada 21 September 2008 dan resolusi spasial 5.8 + 0.1 m.
Pembentukan model 3D dari citra LAPAN TUBSAT ini memerlukan beberapa data awal, yaitu citra LAPAN TUBSAT yang sudah terkoreksi geometrik dan Ground Control Points (GCPs) yang diperoleh dari SRTM30. Pada penelitian ini, citra LAPAN TUBSAT yang diperlukan adalah berupa dua buah foto yaitu foto kanan dan foto kiri. Kedua foto tersebut digunakan untuk pembentukan algoritma dan model stereo dengan menggunakan rumus (1). Gambar (6a) dan (6b) merupakan foto kiri dan foto kanan dari citra LAPAN TUBSAT. Gambar (6c) merupakan tampilan foto stereo dari citra LAPAN TUBSAT dengan 14 titik penelitian.
                    Gambar 6. Citra LAPAN TUBSAT ; (a). foto kiri ; (b). foto kanan ; (c). foto stereo

Foto kiri dan foto kanan harus memiliki overlay/tumpang susun sebesar minimal 60% sebagai syarat pembentukan model stereo2, 13. Proses selanjutnya adalah pembentukan foto stereo dengan menggunakan 14 titik penelitian karena wilayah penelitian di dataran tinggi14, 15. Titik-titik tersebut akan menentukan pola dan model pembentukan tingkat akurasi dan presisi data ukuran16. Kemudian pembentukan grid dengan metode Kriging dan akan menghasilkan model 3D (DEM). Hasil tersebut harus dilakukan pengujian secara profil melintang dan geo-statistik14. Jika sudah memenuhi toleransi maka akan menghasilkan model 3D yang akurat dan presisi17, 18.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini akan menghasilkan model 3D (DEM) yang dibuat dari dua buah foto. Kedua foto tersebut memiliki overlay 60%. Foto stereo tersebut kemudian digunakan untuk pembuatan model stereo yaitu kondisi kenampakan 3D dari citra LAPAN TUBSAT yang bisa merepresentasikan keadaan Digital Elevation Model (DEM) wilayah tersebut14. Model stereo dapat dibuat dengan cara pembuatan grid data akan membentuk satu rangkaian jaringan kontrol geodetik14. Kondisi jaringan tersebut ditentukan dengan hitung perataan kuadrat terkecil (least square adjustment)7.
Hasil dari grid data tersebut sudah merepresentasikan DEM wilayah puncak gunung Semeru karena 14 GCP yang digunakan dari data SRTM30 sudah diturunkan menjadi DEM. Gambar (7a) merupakan hasil tampilan grid data yang sudah ditampilkan dalam bentuk DEM. Warna merah menunjukkan elevasi tertinggi dari model 3D gunung Semeru dengan elevasi pada range 3250-3379 m. Selanjutnya warna orange merepresentasikan elevasi pada range 3000-3250 m. Warna kuning yang merepresentasikan elevasi pada range 2500-3000 m. Kemudian warna hijau merepresentasikan elevasi pada range 2100-2500 m, sedangkan warna cyan merepresentasikan elevasi pada range 1900-2100 m. Klas warna terakhir adalah warna biru yang merepresentasikan elevasi pada range 1814-1900 m. Klas warna tersebut juga berguna dalam pembuatan kontur untuk melihat kondisi topografi wilayah puncak gunung Semeru.
Gambar (7b) merupakan kenampakan kontur pada DEM citra LAPAN TUBSAT. Gambar (7c) merupakan tampilan 3D puncak gunung Semeru yang sudah memenuhi syarat dalam uji range.
                   Gambar 7. Model 3D gunung Semeru; (a). DEM ; (b). DEM+kontur ; (c) . 3D view

DEM yang dihasilkan tersebut akan dicek kelayakannya berdasarkan tampilan konturnya. Pada penelitian ini, kenampakan kontur sudah merepresentasikan keadaan wilayah di puncak gunung Semeru dengan nilai akurasi tertentu dan tingkat presisi yang tertentu juga. Jika pengujian dengan kenampakan kontur sudah sesuai dengan kenampakan pada DEM maka proses selanjutnya adalah uji range. Nilai yang benar pada masing-masing titik penelitian tersebut hanya terdapat pada Range Z (Z-dzi s/d Z+dzi meter). Range ini merupakan syarat mutlak dalam penurunan DSM ke DEM sedangkan nilai yang berada diluar range merupakan Bull Eye’s19, 20, 15. Istilah ini sering digunakan dalam interpolasi kontur.
Bull Eye’s bisa disebabkan oleh interpolasi kontur yang salah akibat penyebaran titik tinggi yang tidak merata atau bisa juga disebabkan oleh nilai titik tinggi yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Bull Eye’s merupakan titik, garis, atau area yang mempunyai nilai ketinggian, akan tetapi nilai tersebut tidak merepresentasikan keadaan sebenarnya di lapangan15, 21, 20. Jika ada wilayah yang tidak sesuai dengan uji range ini, maka dilakukan lagi penentuan pola dan model 14 titik penelitian supaya dapat mencakupi seluruh wilayah di foto stereo tersebut21. Titik penelitian bisa ditambah jika terjadi pada kasus khusus, misal pada daerah yang ekstrim seperti daerah pegunungan.
DEM yang telah dibuat harus diuji, baik secara statistik maupun secara non-statistik22. Uji secara non-statistik bisa berupa tampilan. Uji tampilan DEM ini menggunakan metode profil melintang. Profil merupakan kenampakan objek baik secara topografi maupun non topografi. Profil terbagi atas dua macam, yaitu profil memanjang dan profil melintang. Profil melintang merupakan kenampakan objek secara melintang secara tegak lurus terhadap sumbu objek tersebut. Contoh profil melintang adalah kenampakan melintang dari jalan, profil melintang sungai, continental shelf, pegunungan, perbukitan, dan lain-lain23, 24.
Gambar 8. Uji range dan ketelitian citra LAPAN TUBSAT ; (a). Profil melintang ; (b). Path profile

Profil memanjang merupakan kenampakan objek memanjang mengikuti sumbu objek tersebut, misal profil as jalan, breakline, garis antar thalweg sungai23, 24. Profil melintang yang dibuat meliputi area utara ke selatan. Profil tersebut meliputi kenampakan hutan, sungai, dan hydrology flow yang lainnya. Profil melintang tersebut mencerminkan kenampakan DEM wilayah tersebut.
            Kenampakan DEM secara profil melintang pada citra LAPAN TUBSAT dapat dilihat pada gambar (8a;b). Selain itu juga dilakukan uji ketelitian secara geo-statistik dengan menggunakan hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter dan diperoleh akurasi vertikal 5-9 m untuk SRTM30 dengan range sebesar 26-35 m14. Jenis transformasi yang digunakan pada pembentukan model matematis adalah sebangun 3D dengan mereferensikan DEM LAPAN TUBSAT pada SRTM3014.

KESIMPULAN
Citra LAPAN TUBSAT bisa dibuat model 3D dengan Videogrammetri yang didukung konsep hitung perataan kuadrat terkecil, model stereo, jaring kontrol geodetik, dan DSM2DEM. Akurasi vertikal sebesar 5-9 m pada range 26-35 m.

UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih diucapkan kepada Prof. Pardamean Sebayang dan Dr. Endang Tri Margawati atas koreksinya pada tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
1.        Hardhienata, S. and Triharjanto, R. H., 2007, LAPAN-TUBSAT; First Indonesian Micro Satellite, 1st printed, LAPAN, Jakarta.
2.        Konecny dan Lehmann, 1984, Photogrammetrie, Walter de Gruyter & Co., Berlin, Jerman.
3.        Malheiro, F.A., 2008, Surveying GIS & SIG Geomatics, Infotop organization, Braga, Portugal.
4.        Rukmana., C.A., 2006, Bahan Kuliah Fotogrammetri Non Topografi (Videogrammetri), Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
5.        Julzarika, A., 2007, Bahan Kuliah Survei Hidrografi I (Videogrammetry, Underwater Photogrammetry, Underwater Archeology), Teknik Geodesi, Universitas Diponegoro, Semarang.
6.        Norbert, H., 2008, Videogrammetry, Bureau D’Architecture, Belgia
7.        Widjajanti, N., 1997, Diktat Hitung Perataan, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
8.        Hadiman., 1999, Hitung Perataan, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
9.        Wolf, P.R., 1981, Adjustment Computations: (practical least square for surveyors), 2nd edition, Institute Technology of Bandung, Bandung.
10.      Uotila, U.A., 1985, Adjustment Computations Notes, Department of Geodetic Science and Surveying The Ohio State University, Ohio.
11.      Soeta’at., 2001, Sistem dan Transformasi Koordinat, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12.      Spiegel, M.R., 1975, Theory and Problems of Probability and Statistics, Mc Grow-Hill book company, USA.
13.      Soeta’at., 1996, Hitung kuadrat terkecil lanjut, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
14.      Julzarika, A., 2008, 3D Modelling Technical of LAPAN TUBSAT Satellite Imagery Using Videogrammetry and Its Statistical Test (Study of Case: Merapi Volcano, Yogyakarta, Indonesia), Khwarizmi International Award 2008 (Nominee), Iran.
15.      Julzarika, A, 2008, Differential of Digital Surface Model (DSM) to be Digital Elevation Model (DEM) from ALOS Satellite Imagery Using Least Square Adjustment Computation (Study of Case: Cilacap, Indonesia), ASAIHL SCOPUS Young Scientist Award 2008 (Nominee), Thailand.
16.      Julzarika, A., 2007, Analysis of coordinates changing caused by the changing of map file types in developing internet based geographic information system, Undergraduate thesis, Geodesy and Geomatics Engineering, University of Gadjah Mada, Yogyakarta.
17.      Julzarika, A., 2007, AutoCad Map, Teknik Geodesi, Universitas Diponegoro, Semarang.
18.      Julzarika, A., 2007, AutoCad Land Development, Teknik Geodesi, Universitas Diponegoro, Semarang.
19.      Wawan, K. H. and Julzarika, A., 2008, Analisa Pemodelan Tsunami dengan hasil turunan SRTM90 (Studi kasus: Kota Padang). MAPIN, Bandung.
20.      Julzarika, A., 2008, Optimization of differential DSM2DEM using optical and radar data according to Geodesy and Geomatics Engineering. General Stadium, Geodetic Engineering, University of Diponegoro, Semarang.
21.      Julzarika, et.al. 2008. Teknik Penurunan Digital Surface Model (DSM) dari citra satelit ALOS menjadi Digital Elevation Model (DEM) (Studi kasus: Cilacap). MAPIN, Bandung.
22.      Widjajanti, N.,dan Sutanta, H. 2006: Model Permukaan Digital, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
23.      Arsana, I.M.A., dan Julzarika, A., 2006, Liscad-Surveying & Engineering Software, Geodesy and Geomatics Engineering, University of Gadjah Mada and Leica Geosystem, Yogyakarta.
24.      Arsana, I.M.A, dan Julzarika, A., 2007, Memanfaatkan Fitur-Fitur Google, 1st printed, PT. Elexmedia Komputindo, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar