Teknik Pemodelan
3D Citra Satelit LAPAN TUBSAT
dengan Videogrammetri
(Studi
Kasus: Gunung Semeru)
Atriyon
Julzarika
ABSTRACT
LAPAN
TUBSAT imagery can be made in 3D model using Videogrammetry. These 3D model
used stereo model concept, geodetic control network, and Kriging method. First,
LAPAN TUBSAT imagery in the form of video was taken in two photo’s which have
60% overlay to create a stereo model. It needs to correct geometrically these
two photo. After making 3D model, then geodetic control network that has been
made can get ground control points from SRTM30. Kriging method that was
resulted from geodetic control network was useful for making 3D model. 3D model
needs statistical tests, they are display (athwart profile) and also geo-statistical.
Its vertical accuracy was 5-9 m for SRTM30 with range 26-35 m. The research
result concluded that LAPAN TUBSAT 3D model was created by Videogrammetry.
Keywords: 3D Model, LAPAN TUBSAT
Imagery, Videogrammetry
PENDAHULUAN
Satelit LAPAN TUBSAT
merupakan salah satu satelit sumber daya alam yang digunakan untuk mengelola
lingkungan dan memantau bencana alam. Satelit LAPAN TUBSAT adalah satelit
buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional bekerjasama dengan Technical
University of Berlin (TUB)1. Satelit LAPAN TUBSAT merupakan
satelit mikro berbobot 55 kg
untuk keperluan penginderaan jauh. Satelit LAPAN TUBSAT berbentuk kotak dengan
dimensi 45x45x27 cm.
Pengembangan satelit didasarkan pada efisiensi
biaya serta mempertimbangkan waktu perancangan dan pembuatan yang relatif
singkat (2-3 tahun). Satelit LAPAN TUBSAT diluncurkan dengan roket buatan
India. Roket Polar Satellite Launch
Vehicle (PSLV) buatan India dipilih untuk mengorbitkan LAPAN TUBSAT. Roket
ini telah memperlihatkan ketangguhannya dalam meluncurkan berbagai satelit
orbit polar.
Satelit akan ditempatkan pada orbit lingkaran
melalui kutub-kutub Bumi pada ketinggian 630 km dan kemiringan terhadap ekuator
sebesar 97,90. Pada ketinggian ini satelit mengorbit Bumi sekali
dalam 99 menit dan pergeseran setiap orbit akibat rotasi Bumi diperkirakan
sebesar 24,80. Dua stasiun bumi dipersiapkan untuk mengendalikan LAPAN
TUBSAT, yaitu di LAPAN Rumpin dan LAPAN-Stasiun Pengamat Dirgantara Biak.
Proses pengolahan citra meliputi konversi format video ke citra dan koreksi
geometrik. Orientasi dari citra satelit ini memiliki kebalikan arah dengan
citra satelit sumber daya alam yang lainnya. Citra satelit ini memiliki arah
utara ke selatan magnetis Bumi dan arah selatan ke arah utara magnetis Bumi. Citra
satelit ini juga bisa dibuat model stereo dengan hitung perataan kuadrat
terkecil. Gambar (1) menjelaskan tentang konsep Videogrammetri.
Gambar 1. Cara perolehan gambar dengan metode Videogrammteri
Videogrammetri adalah pengembangan dari Fotogrammetri. Fotogrammetri adalah
suatu seni dan ilmu tentang prosedur dalam pengukuran objek berdasarkan lokasi
dan bentuk2. Pengukuran ini dilakukan tanpa kontak langsung dengan
objek tapi secara langsung pada gambar atau citra sebuah objek. Dari pergertian
tersebut, Fotogrammetri mempunyai kedekatan pengertian dengan penginderaan
jauh.
Videogrammetri adalah suatu teknologi pengukuran koordinat dalam bentuk
tiga dimensi dari titik-titik pada suatu obyek yang ditentukan oleh pengukuran
dengan sumber dari dua atau lebih gambar video dimana pengambilannya dari sudut
pandang yang berbeda3. Gambar dapat diperoleh dari dua sudut pandang
yang secara simultan menampilkan obyek atau berasal dari gambar berurutan yang
ditangkap video yang sama dengan tampilan dari suatu obyek4, 5. Videogrammetri memperluas teknik metode close-range Photogrammetry dan menerapkannya ke dalam suatu urutan gambar untuk
menyajikan atau menghasilkan suatu rangkaian model tiga dimensi yang diproduksi
dengan menggunakan standar Fotogrammetri6. Videogrammetri
pada citra LAPAN TUBSAT tersebut bertujuan untuk menghasilkan model 3D (Gunung
Semeru) sehingga dapat digunakan untuk aplikasi vulkanologi.
LANDASAN TEORI
engambilan data LAPAN TUBSAT mempunyai
kemiripan dengan pengambilan data satelit sumber daya alam lainnya. Model stereo yang digunakan pada satelit LAPAN
TUBSAT juga sama dengan konsep stereo pada Fotogrammetri dan Videogrammetri. Gambar
(2) adalah tentang teknik pengambilan data stereo LAPAN TUBSAT. Satelit LAPAN TUBSAT diilustrasikan
dengan gambar kotak. Pergerakan satelit tersebut mempunyai arah dari timur ke
barat dimana satelit melakukan pemotretan terhadap wilayah yang sama dalam
beberapa kali.
Gambar 2. LAPAN TUBSAT Target Pointing
Pada kondisi pemotretan pertama, satelit melakukan pemotretan terhadap
wilayah A. Kemudian terjadi pergerakan satelit dari titik (1) menuju titik (2).
Satelit juga melakukan pemotretan terhadap wilayah A dengan tumpang susun lebih
besar dari 60%. Pergerakan satelit dari titk (1) ke titik (2) menggunakan
sistem 4D dimana koordinat pada titik (1) sebesar (x1, y1,
z1, t1) menuju titik (2) sebesar (x2, y2,
z2, t2). Sistem pergerakan satelit LAPAN TUBSAT memiliki
kemiripan dengan sistem satelit navigasi Glonass
dan GPS. Tumpang susun dari pemotretan dari titik (1) dan titik (2) ini dapat
dilakukan pengujian statistik secara hitung perataan kuadrat terkecil7, 8.
Kemudian satelit melakukan pergerakan dari titik (2) ke titik (3).
Pemotretan dari titik (3) ini akan merekam kondisi wilayah A dengan overlap
lebih besar dari 60%, pergerakan satelit dari titik (2) ke titik (3) ini
menggunakan sistem 4D (x, y, z, t). Gambar (3) adalah tentang pemotretan strip
untuk citra LAPAN TUBSAT.
Gambar
3. Pemotretan strip citra LAPAN TUBSAT
Tumpang susun dari pemotretan dari titik (1), ke titik (2), titik (3)
merupakan pemotretan strip sehingga bisa dilakukan pengujian statistik secara
hitung perataan bundle block9,
10. Gambar (4) adalah tampilan model stereo2.
Gambar 4. Konsep dasar model stereo
Interpretasi dan pengukuran gambar yang dilakukan dalam Fotogrammetri dapat
berupa pembentukan model stereo11 dan model beda fase2. Demikian
juga dengan Videogrammetri, pada bidang ini juga dapat dilakukan pembentukan
model stereo dan model beda fase5. Model stereo adalah pembentukan
model 3D yang terbentuk akibat perbedaan paralaks yang memiliki jarak basis
terhadap dua pandangan yang berbeda dan mengarah pada satu titik yang sama pada
kedua foto yang bertumpang susun2. Pada gambar (4) merupakan objek konvergen yang
ditandai dengan γ dan sudut paralaks yang terbentuk sebesar d γ serta jarak
basis sebesar bA.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan diagram alir pada gambar (5).
Gambar
5. Diagram alir penelitian
Pada penelitian ini mengkaji tentang cara pemodelan 3D dari citra LAPAN
TUBSAT. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan sebelumnya tentang teknik
penurunan Digital Surface Model (DSM)
menjadi Digital Elevation Model
(DEM). Pembentukan algoritma tetap menggunakan hitung perataan kuadrat terkecil
(least square adjustment)12.
Citra LAPAN TUBSAT yang digunakan adalah Gunung Semeru dengan akuisisi pada 21
September 2008 dan resolusi spasial 5.8 + 0.1 m.
Pembentukan model 3D dari citra LAPAN TUBSAT ini memerlukan beberapa data
awal, yaitu citra LAPAN TUBSAT yang sudah terkoreksi geometrik dan Ground Control Points (GCPs) yang
diperoleh dari SRTM30. Pada penelitian ini, citra LAPAN TUBSAT yang diperlukan
adalah berupa dua buah foto yaitu foto kanan dan foto kiri. Kedua foto tersebut digunakan untuk
pembentukan algoritma dan model stereo dengan menggunakan rumus (1). Gambar
(6a) dan (6b) merupakan foto kiri dan foto kanan dari citra LAPAN TUBSAT. Gambar (6c) merupakan tampilan foto stereo
dari citra LAPAN TUBSAT dengan 14 titik penelitian.
Gambar 6. Citra LAPAN TUBSAT ; (a). foto kiri ;
(b). foto kanan ; (c). foto
stereo
Foto kiri dan foto kanan harus memiliki overlay/tumpang
susun sebesar minimal 60% sebagai syarat pembentukan model stereo2, 13.
Proses selanjutnya adalah pembentukan foto stereo dengan menggunakan 14 titik penelitian
karena wilayah penelitian di dataran tinggi14, 15. Titik-titik
tersebut akan menentukan pola dan model pembentukan tingkat akurasi dan presisi
data ukuran16. Kemudian pembentukan grid dengan metode Kriging dan
akan menghasilkan model 3D (DEM). Hasil tersebut harus dilakukan pengujian
secara profil melintang dan geo-statistik14. Jika sudah memenuhi
toleransi maka akan menghasilkan model 3D yang akurat dan presisi17, 18.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini akan menghasilkan model 3D (DEM) yang dibuat dari dua
buah foto. Kedua foto tersebut memiliki overlay
60%. Foto stereo tersebut kemudian digunakan untuk pembuatan model stereo yaitu
kondisi kenampakan 3D dari citra LAPAN TUBSAT yang bisa merepresentasikan
keadaan Digital Elevation Model (DEM)
wilayah tersebut14. Model stereo dapat dibuat dengan cara pembuatan
grid data akan membentuk satu rangkaian jaringan kontrol geodetik14.
Kondisi jaringan tersebut ditentukan dengan hitung perataan kuadrat terkecil (least square adjustment)7.
Hasil dari grid data tersebut sudah merepresentasikan DEM wilayah puncak
gunung Semeru karena 14 GCP yang digunakan dari data SRTM30 sudah diturunkan
menjadi DEM. Gambar (7a) merupakan hasil tampilan grid data yang sudah
ditampilkan dalam bentuk DEM. Warna merah menunjukkan elevasi tertinggi dari
model 3D gunung Semeru dengan elevasi pada range
3250-3379 m. Selanjutnya warna orange
merepresentasikan elevasi pada range
3000-3250 m. Warna kuning yang merepresentasikan elevasi pada range 2500-3000 m. Kemudian warna hijau
merepresentasikan elevasi pada range
2100-2500 m, sedangkan warna cyan
merepresentasikan elevasi pada range
1900-2100 m. Klas warna terakhir adalah warna biru yang merepresentasikan
elevasi pada range 1814-1900 m. Klas
warna tersebut juga berguna dalam pembuatan kontur untuk melihat kondisi
topografi wilayah puncak gunung Semeru.
Gambar (7b) merupakan kenampakan kontur pada DEM citra LAPAN TUBSAT. Gambar
(7c) merupakan tampilan 3D puncak gunung Semeru yang sudah memenuhi syarat
dalam uji range.
Gambar
7. Model 3D gunung Semeru; (a). DEM ; (b).
DEM+kontur ; (c) . 3D view
DEM yang dihasilkan tersebut akan dicek kelayakannya berdasarkan tampilan
konturnya. Pada penelitian ini, kenampakan kontur sudah merepresentasikan
keadaan wilayah di puncak gunung Semeru dengan nilai akurasi tertentu dan tingkat
presisi yang tertentu juga. Jika
pengujian dengan kenampakan kontur sudah sesuai dengan kenampakan pada DEM maka
proses selanjutnya adalah uji range. Nilai
yang benar pada masing-masing titik penelitian tersebut hanya terdapat pada Range Z (Z-dzi s/d Z+dzi meter). Range
ini merupakan syarat mutlak dalam penurunan DSM ke DEM sedangkan nilai yang
berada diluar range merupakan Bull Eye’s19, 20, 15. Istilah ini sering digunakan dalam
interpolasi kontur.
Bull Eye’s bisa disebabkan oleh interpolasi
kontur yang salah akibat penyebaran titik tinggi yang tidak merata atau bisa
juga disebabkan oleh nilai titik tinggi yang tidak sesuai dengan yang
sebenarnya. Bull Eye’s merupakan
titik, garis, atau area yang mempunyai nilai ketinggian, akan tetapi nilai
tersebut tidak merepresentasikan keadaan sebenarnya di lapangan15, 21, 20.
Jika ada wilayah yang tidak sesuai dengan uji range ini, maka dilakukan lagi penentuan pola dan model 14 titik
penelitian supaya dapat mencakupi seluruh wilayah di foto stereo tersebut21.
Titik penelitian bisa ditambah jika terjadi pada kasus khusus, misal pada
daerah yang ekstrim seperti daerah pegunungan.
DEM yang telah dibuat harus diuji, baik secara statistik maupun secara
non-statistik22. Uji secara non-statistik bisa berupa tampilan. Uji
tampilan DEM ini menggunakan metode profil melintang. Profil merupakan
kenampakan objek baik secara topografi maupun non topografi. Profil terbagi
atas dua macam, yaitu profil memanjang dan profil melintang. Profil melintang
merupakan kenampakan objek secara melintang secara tegak lurus terhadap sumbu
objek tersebut. Contoh profil melintang adalah kenampakan melintang dari jalan,
profil melintang sungai, continental
shelf, pegunungan, perbukitan, dan lain-lain23, 24.
Gambar 8. Uji range dan ketelitian citra LAPAN TUBSAT ; (a). Profil melintang ;
(b). Path profile
Profil memanjang merupakan kenampakan objek memanjang mengikuti sumbu objek
tersebut, misal profil as jalan, breakline,
garis antar thalweg sungai23, 24.
Profil melintang yang dibuat
meliputi area utara ke selatan. Profil tersebut meliputi kenampakan hutan,
sungai, dan hydrology flow yang lainnya. Profil melintang tersebut mencerminkan kenampakan DEM
wilayah tersebut.
Kenampakan DEM secara profil melintang
pada citra LAPAN TUBSAT dapat dilihat pada gambar (8a;b). Selain itu juga
dilakukan uji ketelitian secara geo-statistik dengan menggunakan hitung
perataan kuadrat terkecil metode parameter dan diperoleh akurasi vertikal 5-9 m
untuk SRTM30 dengan range sebesar
26-35 m14. Jenis transformasi yang digunakan pada pembentukan model
matematis adalah sebangun 3D dengan mereferensikan DEM LAPAN TUBSAT pada SRTM3014.
KESIMPULAN
Citra LAPAN TUBSAT bisa dibuat model 3D dengan Videogrammetri yang didukung
konsep hitung perataan kuadrat terkecil, model stereo, jaring kontrol geodetik,
dan DSM2DEM. Akurasi vertikal sebesar 5-9 m pada range 26-35 m.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih diucapkan kepada Prof. Pardamean Sebayang dan Dr. Endang Tri
Margawati atas koreksinya pada tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hardhienata, S. and Triharjanto, R. H., 2007, LAPAN-TUBSAT; First Indonesian Micro
Satellite, 1st printed, LAPAN, Jakarta.
2.
Konecny dan Lehmann, 1984, Photogrammetrie, Walter de Gruyter &
Co., Berlin, Jerman.
4.
Rukmana., C.A., 2006, Bahan Kuliah
Fotogrammetri Non Topografi (Videogrammetri), Jurusan Teknik Geodesi dan
Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
5.
Julzarika, A.,
2007, Bahan Kuliah Survei Hidrografi I (Videogrammetry, Underwater
Photogrammetry, Underwater Archeology), Teknik Geodesi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
6.
Norbert,
H., 2008, Videogrammetry, Bureau
D’Architecture, Belgia
7.
Widjajanti, N., 1997, Diktat Hitung
Perataan, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
8.
Hadiman., 1999, Hitung Perataan, Jurusan
Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
9.
Wolf, P.R., 1981, Adjustment
Computations: (practical least square for surveyors), 2nd
edition, Institute Technology of Bandung, Bandung.
10.
Uotila, U.A., 1985, Adjustment
Computations Notes, Department of Geodetic Science and Surveying The Ohio
State University, Ohio.
11.
Soeta’at., 2001, Sistem dan Transformasi Koordinat, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12.
Spiegel, M.R., 1975, Theory
and Problems of Probability and Statistics, Mc Grow-Hill book company, USA.
13.
Soeta’at., 1996, Hitung kuadrat
terkecil lanjut, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
14.
Julzarika, A., 2008, 3D
Modelling Technical of LAPAN TUBSAT Satellite Imagery Using Videogrammetry and
Its Statistical Test (Study of Case: Merapi Volcano, Yogyakarta, Indonesia),
Khwarizmi International Award 2008 (Nominee), Iran.
15.
Julzarika, A, 2008, Differential
of Digital Surface Model (DSM) to be Digital Elevation Model (DEM) from ALOS
Satellite Imagery Using Least Square Adjustment Computation (Study of Case:
Cilacap, Indonesia), ASAIHL SCOPUS Young Scientist Award 2008 (Nominee),
Thailand.
16.
Julzarika, A., 2007, Analysis of coordinates changing caused by
the changing of map file types in developing internet based geographic
information system, Undergraduate thesis, Geodesy and Geomatics
Engineering, University of Gadjah Mada, Yogyakarta.
17.
Julzarika, A., 2007, AutoCad
Map, Teknik Geodesi,
Universitas Diponegoro, Semarang.
18.
Julzarika, A., 2007, AutoCad Land
Development, Teknik Geodesi,
Universitas Diponegoro, Semarang.
19.
Wawan, K. H. and Julzarika, A., 2008, Analisa
Pemodelan Tsunami dengan hasil turunan SRTM90 (Studi kasus: Kota Padang). MAPIN,
Bandung.
20.
Julzarika, A., 2008, Optimization
of differential DSM2DEM using optical and radar data according to Geodesy and
Geomatics Engineering. General Stadium, Geodetic Engineering, University of
Diponegoro, Semarang.
21.
Julzarika, et.al. 2008. Teknik
Penurunan Digital Surface Model (DSM) dari citra satelit ALOS menjadi Digital
Elevation Model (DEM) (Studi kasus: Cilacap). MAPIN, Bandung.
22.
Widjajanti, N.,dan Sutanta, H. 2006: Model
Permukaan Digital, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
23.
Arsana, I.M.A.,
dan Julzarika, A., 2006, Liscad-Surveying & Engineering Software,
Geodesy and Geomatics Engineering, University of Gadjah Mada and Leica Geosystem,
Yogyakarta.
24.
Arsana, I.M.A, dan
Julzarika, A., 2007, Memanfaatkan Fitur-Fitur Google, 1st
printed, PT. Elexmedia Komputindo, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar