Penentuan Landas
Kontinen Ekstensi Batas Maritim Indonesia Pada Kedalaman 2500 m isobaths + 100 nm
di Sebelah Barat Indonesia Menggunakan
Batimetri Turunan Data Penginderaan Jauh
Atriyon
Julzarika
ABSTRACT
West side Indonesia is a region that directly adjacent to Hindia Ocean.
This condition allows Indonesia to claim maritime boundary delimitation
according to Technical Aspect
of the Law of the Sea (TALOS), one of TALOS concept is to determine extended continental
shelf in -2500 m depth isobaths + 100 nm
in 1% sedimentary rock. This extended continental shelf can be determined by
using bathymetry that is derived from altimetry satellite imagery. The
establishment of this bathymetry has the same concept with topography in the case
of survey mapping and remote sensing. Those bathymetry can be applied to
determine another maritime boundary delimitation claims. Besides that, those
bathymetry can also be applied to make a 3D model of bathymetry in Hindia Ocean
so we can observe the condition of internal waters, medium and depth waters in
the west side of Indonesia. This bathymetry will be useful for various
engineering applications and some other of non engineering applications. This
3D model of bathymetry will be useful for Indonesia
in claiming maritime boundary delimitation in Hindia Ocean
and to improve marine resources management.
Keywords : Bathymetry, West side Indonesia, extended continental
shelf
ABSTRAK
Indonesia bagian barat merupakan kawasan yang berbatasan langsung dengan
Samudera Hindia. Kondisi
ini memungkinkan Indonesia
dapat mengklaim batas maritim sesuai dengan yang terdapat di Technical Aspect of the Law of the Sea
(TALOS). Salah satunya adalah penentuan batas landas kontinen ekstensi pada
kedalaman -2500 m isobaths + 100 nm pada sedimentasi 1%. Batas landas kontinen ini dapat ditentukan menggunakan data batimetri yang
diturunkan dari citra satelit Altimetri. Pembuatan batimetri ini memiliki
konsep yang sama dengan pembuatan topografi secara survei pemetaan maupun
secara penginderaan jauh. Batimetri tersebut bisa digunakan untuk penentuan
klaim batas maritim lainnya. Selain itu, batimetri tersebut bisa juga digunakan
untuk pemodelan 3D perairan di Samudera Hindia sehingga akan terlihat kondisi
perairan dangkal, sedang, dan dalam yang ada di sebelah barat Indonesia. Batimetri
ini akan berguna dalam berbagai aplikasi keteknikan dan non keteknikan lainnya.
Pemodelan 3D perairan ini akan berguna bagi Indonesia dalam klaim batas maritim
di Samudera Hindia dan dalam pengelolaan sumber daya alam laut.
Kata kunci: Batimetri,
Indonesia bagian barat, landas kontinen ekstensi
Pendahuluan
Kondisi
geografis Indonesia memiliki posisi penting yaitu terletak antara samudera
Hindia dan samudera Pasifik serta benua Asia dan Australia. Kondisi geografis
ini juga berdampak pada fenomena El-Nino yang menyebabkan Indonesia mengalami
kondisi kering dan hangat. El-Nino adalah penampakan suhu dan arus laut yang
hangat di perairan lepas pantai Amerika Selatan mulai dari Ekuador sampai Peru
(Subandono, 2009: 68). Indonesia yang juga merupakan salah satu negara
kepulauan yang memiliki berbagai kekayaan sumber daya alam, mempunyai peran
penting dalam perubahan iklim global, serta memiliki pengaruh dalam pergerakan
lempeng benua. Selain itu perubahan iklim juga dipengaruhi oleh penguapan yang
lajunya menjadi lebih cepat akibat dampak kenaikan suhu bumi yang mengakibatkan
peningkatan kelembaban di udara serta peningkatan suhu di siang hari. Curah
hujan akan bertambah terutama di wilayah pesisir dan sepanjang lintasan siklon
atau terpengaruh dari efek lintasan ekor siklon tropis. Pada skala regional
panas dan kelembaban berlebih akan menyebabkan badai tropis yang kuat.
Indonesia
memiliki 17.504 pulau dan garis pantai 95.181 km dengan kemiringan rata-rata 2%
atau genangan air mundur ke arah darat sejauh 50 m dari garis pantai. Fenomena
perubahan iklim tersebut sudah berdampak pada Indonesia, yaitu setidaknya sudah
kehilangan 24 pulau kecil dalam waktu 2005-2007 (DKP, 2007). 24 pulau kecil
yang tenggelam tersebut meliputi NAD (tiga pulau), Sumatera Utara (tiga pulau),
Papua (tiga pulau), Kepri (lima pulau), Sumatera Barat (dua pulau), dan
Sulawesi Selatan (satu pulau) serta Kepulauan Seribu (tujuh pulau) (Subandono,
2009: 77).
Mayoritas
pulau-pulau kecil tersebut tenggelam akibat erosi air laut yang diperburuk
dengan kegiatan penambangan komersil. Penyebab lainnya adalah faktor bencana
alam seperti tsunami, abrasi, fenomena rob, dan faktor di luar perubahan iklim.
Setidaknya ada empat indokator yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu (1). Perubahan suhu atmosfer dan
suhu air laut; (2). Perubahan pola angin; (3). Perubahan presipitasi dan pola
hidrologi; (4). Kenaikan muka air laut. Pada saat erosi pantai meningkat, pola
angin berubah ditambah dengan adanya kenaikan muka air laut maka perubahan
fisik lingkungan berubah. Perubahan tersebut meliputi (1) terjadinya gelombang
ekstrim dan banjir; (2) intrusi air laut ke sungai dan air tanah; (3) kenaikan
muka air sungai di muara sungai karena terbendung oleh muka air yang naik; (4)
perubahan pasang surut dan gelombang; (5) perubahan pola sedimentasi.
Permasalahan kenaikan muka air laut juga disebabkan vulkanologi laut, pencairan
es di kutub utara dan selatan serta deformasi vertikal atau penurunan tanah.
Kenaikan muka
air laut sangat berpengaruh pada penataan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil. Saat ini Indonesia memiliki 92 pulau-pulau kecil terluar, 67 pulau
diantaranya berbatasan langsung dengan negara tetangga sebagai pulau-pulau
kecil perbatasan (Julzarika, 2009). Dari sejumlah 67 pulau tersebut, 13
diantaranya perlu mendapat perhatian khusus pemerintah. Kenaikan muka air laut
ini memiliki peran penting terutama pada penentuan batas maritim antar negara.
Selain itu Indonesia juga dihadapi dengan permasalahan batas maritim. Indonesia
belum mempunyai perjanjian batas maritim antar negara dengan Palau, Philipina,
dan Timor Leste serta belum selesainya kesepakatan permasalahan batas maritim
dengan Singapura, Malaysia, dan Vietnam (Abubakar, 2006).
Berdasarkan
UNCLOS 1982, penentuan batas landas kontinen ekstensi dapat dilakukan dengan
memperhatikan empat kriteria seperti diatur dalam pasal 76. Dua kriteria
pertama adalah kriteria yang membolehkan (formulae),
sedangkan dua kriteria terakhir adalah kriteria yang membatasi (constraints): kriteria yang membolehkan
adalah sebagai berikut (Arsana, 2007):
- Didasarkan pada titik tetap terluar pada titik mana ketebalan batu endapan (sedimentary rock) paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dengan kaki lereng kontinen (gardiner line). Batas terluar landas kontinen ekstensi adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan ketebalan batu sedimen 1% dihitung dari kaki lereng kontinen. Persentase ini dihitung dengan membandingkan tebalnya batu sedimen di suatu titik terhadap jarak titik tersebut dari kaki lereng.
- Batas terluar landas kontinen ekstensi juga bisa ditentukan dengan menarik garis berjarak 60 mil laut dari kaki lereng kontinen (Hedberg line) ke arah laut lepas.
Pada penerapannya, batas
terluar landas kontinen ekstensi merupakan kombinasi dari dua syarat di atas,
dalam hal ini akan dipilih garis terluar yang paling menguntungkan negara yang
bersangkutan. Garis terluar ini belum merupakan garis batas landas kontinen
ekstensi final karena harus diuji dan memenuhi dua syarat pembatas yaitu:
- Batas terluar dari landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal sebagai referensi mengukur garis batas territorial; atau
- Batas terluar dari landas kontinen tidak melebihi 100 mil laut dari kontur kedalaman 2.500 m isobaths.
Kedua
syarat tersebut membatasi dan berlaku salah satu yang paling menguntungkan
garis terluar yang dihasilkan.
Delimitasi batas maritim juga
memerlukan konsep datum horizontal dan datum vertikal. Datum horizontal atau
datum geodesi merupakan model matematika bumi untuk referensi perhitungan
koordinat (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Meskipun sebuah garis batas maritim
telah berhasil dibuat, tidak disepakatinya datum geodesi yang digunakan dapat
menimbulkan sengketa. Pemahaman datum horizontal harus dipahami secara
komprehensif terutama dalam hubungan antara permukaan bumi, geoid, dan
ellipsoid. Geoid merupakan model fisik bumi berupa bidang ekuipotensial yang
bentuknya mempunyai referensi mendekati permukaan air laut rerata (TALOS, 2006).
Model ini dipengaruhi oleh kombinasi distribusi massa
bumi dan gaya
sentrifugal rotasi bumi dan berkaitan erat dengan jari-jari bumi. Distribusi massa bumi yang tidak
merata akan menyebabkan ekuipotensial memiliki jari-jari bumi yang berbeda sehingga
tidak sempurna secara matematis. Ellipsoid merupakan model matematika bumi yang ditentukan
oleh dimensi dari sumbu mayor dan sumbu minor dan nilai penggepengan (flattening).
Faktor utama
yang mempengaruhi delimitasi batas maritim adalah pertimbangan politik,
strategis, sejarah. Selain itu juga berpengaruh pertimbangan ekonomi dan
lingkungan, pertimbangan geografis, serta pertimbangan geologi dan geomorfologi
(Arsana, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan batas maritim
berdasarkan landas kontinen ekstensi pada kedalaman 2500 m isobaths + 100 mil
laut di sebelah barat Indonesia. Hal ini dilakukan karena pada kawasan in
Indonesia tidak berbatasan dengan negara lain, tetapi berbatasan langsung
dengan Samudera Hindia.
Metodologi penelitian
Penelitian
ini menggunakan metodologi pada diagram alir berikut ini.
Gambar 1. Diagram
alir penelitian
Pelaksanaan
Penelitian
ini menggunakan data batimetri yang dibuat dari citra satelit altimetri.
Batimetri yang dihasilkan bisa digabungkan dengan topografi dari SRTM 90.
Gambar (2) merupakan tampilan 3D hasil gabungan batimetri dengan SRTM 90.
Gambar 2. Batimetri
dan topografi Indonesia bagian barat
Data
batimetri tersebut digunakan untuk melihat hasil posisi kedalaman -2500 m
isobaths di sebelah barat pulau Sumatera. Pada wilayah ini Indonesia tidak
berbatasan langsung dengan negara lain sehingga memungkinkan untuk melakukan
klaim pada >24 nm, >200 nm, >350 nm, dan pada kedalaman -2500 + 100 m
isobaths. Batimetri yang dibuat dari citra satelit altimetri dapat digunakan
dalam klaim batas maritim Indonesia. Berdasarkan data batimetri tersebut
kemudian dilakukan pembuatan kontur pada -2500 m. Pengolahan ini menghasilkan
fakta bahwa pada jarak 24-200 nm dari titik pangkal Indonesia di sebelah barat
Indonesia terdapat batimetri dengan kedalaman -2500 m.
Kemudian
juga terdapat kedalaman -2500 m pada wilayah tengah Samudera Hindia. Akan
tetapi ini merupakan nilai kedalaman -2500 m terdekat ke titik pangkal sehingga
klaim batas maritim pada kedalaman -2500 m + 100n m isobaths tidak bisa
diklaim. Pada kawasan barat Indonesia ini hanya bisa mengklaim batas maritim
>350 nm. Gambar (3) berikut ini merupakan tampilan batimetri perairan barat
Indonesia pada kedalaman -2500 m isobath.
Gambar 3. Batimetri pada kedalaman -2500
m isobaths wilayah Indonesia
bagian barat
Gambar (4) merupakan tampilan
kedalaman -2500 m, sebelah kanan dekat dengan titik pangkal Indonesia,
sedangkan sebelah kiri terletak ditengah samudera Hindia.
Gambar 4. Samudera
Hindia pada kedalaman -2500 m isobaths
Gambar (5)
merupakan tampilan 3D batimetri perairan barat Indonesia di Samudera Hindia.
Batimetri antara kedalaman pertama (-2500 m dari titik pangkal) dengan
batimetri kedua (-2500 di Samudera Hindia) memiliki kedalaman <2500 m bahkan
terletak pada kedalaman <-4000 m. Perairan diantara kedua batimetri ini
tergolong pada perairan dalam sehingga kondisi kekuatan dan laju arus laut di
perairan ini sangat kuat dan berpengaruh terhadap perairan barat pulau
Sumatera, kepulauan Mentawai, pulau Simeulueh, pulau Nias, dan pulau Enggano.
Hal ini yang menjadi salah satu penyebab bahwa perairan barat Sumatera memiliki
kerentanan abrasi sangat tinggi, tinggi gelombang >1,5 m, dan pergeseran
lempeng yang sangat signifikan.
Gambar 5. Tampilan
3D batimetri perairan barat Indonesia di Samudera Hindia
Uji melintang batimetri perairan barat Indonesia
Uji melintang
digunakan untuk melihat bagaimana kondisi profil suatu model 3D secara
melintang. Pengujian ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui akurasi
secara geostatistik (Julzarika, 2007). Pengujian ini dapat juga diaplikasikan
pada proses cut and fill untuk
pertambangan darat-laut dan survei hidrografi. Gambar (6) merupakan tampilan
uji profil melintang pada perairan Samudera Hindia.
Gambar 6. Uji profil melintang batimetri
di Indonesia
bagian barat
Data batimetri ini bisa juga
diaplikasikan untuk pembuatan slope
dimana hasil ini bisa digunakan untuk menentukan bagaimana kondisi slope di
sekitar Samudera Hindia sehingga dapat diketahui lokasi sedimatasi 1% pada
kedalaman -2500 m + 100 nm isobaths. Secara umum, batimetri di perairan
Samudera Hindia memiliki slope
sekitar 0-15 derajat.
Gambar 7. Slope batimetri di Samudera Hindia
Selain untuk penentuan slope, data batimetri dapat digunakan
untuk penentuan slope direction.
Secara umum, perairan di Samudera Hindia terletak pada slope direction 60-130 derajat. Kondisi ini terletak pada hampir di
keseluruhan wilayah perairan dalam di Samudera Hindia. Slope direction ini berguna untuk analisa kekuatan dan laju arus,
gelombang, kenaikan muka air laut.
Gambar 8. Slope direction di Samudera Hindia
Kesimpulan
- Samudera Hindia secara umum terletak di perairan dalam (<-4000 m) sehingga penentuan klaim batas maritim -2500+100 m isobaths tidak berpengaruh bagi batas maritim Indonesia karena terletak dekat dengan titik pangkal kepulauan.
- Indonesia bisa melakukan klaim batas maritim pada >350 nm ke arah barat di Samudera Hindia karena tidak berbatasan langsung dengan negara lain.
- Perairan di Samudera Hindia terletak pada slope 0-15 derajat dengan slope direction 60-130 derajat.
Daftar
pustaka
Abubakar, M. , 2006. Menata
pulau-pulau kecil perbatasan. Cetakan pertama. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. Indonesia.
Arsana, I.M.A., 2007. Batas Maritim Antar Negara. Cetakan pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Indonesia.
Diposaptono, S. et all., 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Cetakan pertama. PT. Sarana Komunikasi Utama. Bogor.
Indonesia
IOC,
IHO, IAG, 2006. Technical Aspect of the
Law of the Sea (TALOS). UNESCO. United Nations.
Julzarika, A., 2007, Analisa Perubahan Koordinat
Akibat Proses Perubahan Format Tampilan Peta pada Pembuatan Sistem Informasi
Geografis Berbasis Internet, Skripsi, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika
FT UGM, Yogyakarta.
Julzarika,
A., 2009. Kajian batas maritim Indonesia dengan Australia
dan Timor Leste akibat kenaikan muka air laut.
Geosda UGM. Yogyakarta.
Widjajanti,
N.,dan Sutanta, H. 2006: Model Permukaan Digital, Jurusan Teknik Geodesi
dan Geomatika, Fakultas Teknik,
Universtas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar