Kamis, 09 Mei 2013

Pemodelan 3D Kota Semarang Terhadap Kenaikan Muka Air Laut dengan Citra Satelit SPOT5



Pemodelan 3D Kota Semarang Terhadap Kenaikan Muka Air Laut dengan Citra Satelit SPOT5

Atriyon Julzarika



INTISARI
Pada masa sekarang ini, Bumi telah dilibatkan pada permasalahan serius yaitu pemanasan global. Salah satu efek dari fenomena ini adalah kenaikan muka air laut (Sea Level Rise). Fenomena ini mengancam Indonesia sebagai negara kepulauan. Tidak hanya berpengaruh pada pulau-pulau kecil perbatasan, tetapi juga pada kondisi kota-kota di pesisir. Ada beberapa kota di Indonesia yang mengalami permasalahan serius akibat kenaikan muka air laut, di antaranya Padang, Painan, Bengkulu, Sibolga, Jakarta, Semarang, Pekalongan, Makassar, Manado, dan Ambon. Kota Semarang memiliki permasalahan yang unik, tidak hanya bermasalah pada kenaikan muka air laut, tetapi juga pada deformasi vertikal. Tanah di Semarang mengalami deformasi vertikal sekitar –(8-10) cm/tahun. Kenaikan muka air laut di Kota Semarang sekitar +(8-10) mm/tahun. Kedua kondisi tersebut berpengaruh pada instrusi air laut ke Kota Semarang secara perlahan-lahan. Pada penelitian ini diperlukan pemodelan tentang pengaruh kenaikan muka air laut sehingga dapat mengetahui informasi genangan air terhadap tutupan lahan. Parameter kenaikan muka air laut meliputi perubahan iklim, rata-rata pasang surut, deformasi vertikal, kemiringan dan jenis pantai, serta pergerakan lempeng. Pemodelan 3D ini menggunakan citra satelit SPOT5 dan Digital Terrain Model (DTM) hasil interpolasi CoKriging Bench Marck (BM) di Kota Semarang. Hasil ini bisa digunakan sebagai rekomendasi untuk pembuatan peta bahaya (hazard map), peta kerentanan (vulnerability map), dan peta resiko (inundation map).
Kata kunci: Pemodelan 3D, kenaikan muka air laut, deformasi vertikal, Kota Semarang, genangan air

I. Pendahuluan
Kota Semarang merupakan ibukota propinsi Jawa Tengah yang saat ini mengalami permasalahan serius terhadap kenaikan muka air laut. Permasalahan serius ini juga dihadapi oleh kota-kota lainnya di Indonesia seperti Padang, Painan, Bengkulu, Sibolga, Jakarta, Pekalongan, Makassar, Manado, dan Ambon. Selain itu, masalah ini juga melanda pulau-pulau kecil perbatasan terutama yang berbatasan dengan Palau, Timor Leste, dan Philipina (Abubakar, 2006). Salah satu penyebab kenaikan muka air laut adalah fenomena perubahan iklim terutama El-Nino yang menyebabkan Indonesia mengalami kondisi kering dan hangat. El-Nino adalah penampakan suhu dan arus laut yang hangat di perairan lepas pantai Amerika Selatan mulai dari Ekuador sampai Peru (Subandono, 2009: 68). Selain itu perubahan iklim juga dipengaruhi oleh penguapan yang lajunya menjadi lebih cepat akibat dampak kenaikan suhu bumi yang mengakibatkan peningkatan kelembaban di udara serta peningkatan suhu di siang hari. Pada skala regional panas dan kelembaban berlebih akan menyebabkan badai tropis yang kuat. Curah hujan akan bertambah terutama di wilayah pesisir dan sepanjang lintasan siklon atau terpengaruh dari efek lintasan ekor siklon tropis.
Fenomena perubahan iklim tersebut sudah berdampak pada Indonesia, yaitu setidaknya sudah kehilangan 24 pulau kecil dalam waktu 2005-2007 (DKP, 2007). 24 pulau kecil yang tenggelam tersebut meliputi NAD (tiga pulau), Sumatera Utara (tiga pulau), Papua (tiga pulau), Kepri (lima pulau), Sumatera Barat (dua pulau), dan Sulawesi Selatan (satu pulau) serta Kepulauan Seribu (tujuh pulau) (Subandono, 2009: 77).
Kota Semarang menghadapi permasalahan yang jauh lebih rumit, tidak hanya disebabkan oleh perubahan fenomena iklim tetapi juga pada deformasi vertikal, fenomena pasang surut, rob, abrasi pantai, dan kecepatan arus laut. Kenaikan muka air laut global akibat perubahan iklim sebesar 2 mm/tahun sedangkan di Kota Semarang berkisar 8-10 mm/tahun. Selain itu juga ditambah dengan deformasi vertikal sekitar –(8-10) cm/tahun. Fenomena pasang surut/rob dengan rata-rata kisaran 0,9 meter untuk pantai berpasir dengan kemiringan pantai <0,6 %. Faktor abrasi yang berpengaruh sekitar >-1 m/tahun dengan rata-rata tinggi gelombang >2,6 meter. Parameter-parameter tersebut digunakan untuk pemodelan 3D kenaikan muka air laut terhadap Kota Semarang dengan menggunakan SPOT-5 dan Digital Terrain Model (DTM). Pemodelan 3D tersebut berguna dalam mendapatkan informasi genangan air terhadap parameter-parameter kenaikan muka air laut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan garis pantai kota Semarang dengan pemodelan 3D terhadap kenaikan muka air laut dan deformasi vertikal.

II. Metodologi penelitian
Gambar (1) merupakan diagram alir penelitian.


Gambar 1. Diagram alir penelitian

Penelitian ini mengkaji bagaimana pemodelan 3D pesisir Kota Semarang terhadap kenaikan muka air laut? Bagaimana pemodelan 3Dnya terhadap parameter lain seperti deformasi vertikal, pasang surut/rob, dan abrasi? Hasil ini bisa digunakan sebagai rekomendasi untuk pembuatan peta bahaya (hazard map), peta kerentanan (vulnerability map), dan peta resiko (inundation map)

III. Pelaksanaan
Kenaikan muka air laut di Kota Semarang tidak hanya berpengaruh pada pulau Jawa, tetapi juga pada pulau-pulau kecil perbatasan terutama dalam batas maritim antar negara. Klaim batas maritim tersebut meliputi klaim atas zona maritim nasional yaitu perairan pedalaman (internal water), perairan kepulauan (archipelagic waters), laut teritorial (territorial sea), zona tambahan (contigous zone), zona ekonomi ekslusif (exclusive economic zone), dan landas kontinen (continental shelf). Zona maritim yang bisa diklaim sebuah negara pantai diukur dari garis pangkal (baseline) ke arah laut (Arsana, 2007). Untuk itu diperlukan kajian terhadap kenaikan muka air laut di Kota Semarang.
Penelitian pemodelan 3D terhadap perubahan garis pantai kota Semarang menggunakan DTM hasil interpolasi CoKriging dari seluruh BM yang ada di kota Semarang. DTM merupakan model permukaan digital yang mempunyai referensi terhadap koordinat toposentrik dan telah dilakukan koreksi unsur-unsur geodetis terhadap model tersebut (Li et all, 2005). Interpolasi ini menghasilkan DEM dengan akurasi vertikal sekitar 0.1-1 meter. Untuk pemetaan wilayah kota Semarang terutama di pesisirnya menggunakan citra satelit resolusi tinggi. Pada penelitian ini menggunakan citra SPOT5 dengan resolusi spasial 5 meter. Citra SPOT5 bisa juga dibuat DSM dengan akurasi vertikal 0.5-2 meter. Interpolasi CoKriging dilakukan dengan perangkat lunak Ilwis Academics. Pada pemodelan permukaan digital, diperlukan bagaimana suatu jaring kontrol geodetik dapat menghasilkan grid data secara matematis. Grid data dibentuk berdasarkan rangkaian koordinat raster (baris, kolom) akibat terjadi transformasi koordinat. Transformasi koordinat yang dimaksud adalah perubahan format tampilan peta dari koordinat kartesian (x, y, z, t) pada jaring kontrol geodetik menjadi koordinat raster pada grid data (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Secara matematis, metode CoKriging merupakan interpolasi titik, membutuhkan peta titik sebagai data masukan dan menghasilkan peta raster dengan estimasi dan peta kesalahan/error. CoKriging adalah multivariate variant dengan operasi dasar Kriging. CoKriging menghitung perkiraan atau prediksi dengan sampel minimumdengan bantuan variabel yang lebih baik (covariable). Variabel harus dengan korelasi tinggi (positif atau negatif). CoKriging baik untuk mendapatkan hasil yang presisi. CoKriging menggunakan semivariograms kovarian dengan memperhitungkan bobot S w i = 1 and S h j = 0 dan metode Kriging (Deutsch & Journel, 1992). Nilai variogram dengan model semivariogram g A , g B dan model silang variogram untuk observasi predictand Ai dan n observasi dari covariable Bj sesuai dengan persamaan CoKriging.
s2 = S wi gA(hi) + S hj g AB(hj) + m1

Setiap pengukuran mempunyai kesalahan ukuran, baik kesalahan acak maupun kesalahan tidak acak (Arsana dan Julzarika, 2006). Pemerataan titik kontrol dalam jaring kontrol geodetik mempengaruhi akurasi dan presisi data (Julzarika, 2007). Pemodelan 3D dengan interpolasi Kriging ini harus memenuhi range tertentu (Julzarika, 2008).
a.       Tinggi masing-masing titik penelitian adalah hi meter
b.      Range arah sumbu x :    X’= X-dxi s/d X+dxi
      Maka range X = X’ (pada penelitian ini lebih mengutamakan elevasi/sumbu z)
c.       Range arah sumbu y :    Y’= Y-dyi s/d Y+dyi
      Maka range Y = Y’ (pada penelitian ini lebih mengutamakan elevasi/sumbu z)
d.      Range arah sumbu z :Z’= Z-dzi s/d Z+dzi
dxi, dyi, dan dzi adalah simpangan baku titik yang diperoleh dari model matematika dengan hitung perataan.
Gambar (2) merupakan DTM hasil interpolasi CoKriging dari BM yang terdapat di Kota Semarang.

Gambar 2. DTM Kota Semarang

Gambar (3) merupakan tampilan Kota Semarang dilihat dari citra SPOT5.
Gambar 3. Citra satelit SPOT5 Kota Semarang

Proses selanjutnya adalah melakukan koreksi ortho terhadap citra SPOT5 dengan metode single model bundle adjustment. Koreksi ortho menggunakan DTM hasil interpolasi Kriging BM dengan titik kontrol tanah dari BM tersebut.Setelah itu dilakukan pemodelan 3D terhadap kenaikan muka air laut akibat beberapa parameter. Pertama kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Kota Semarang mengalami kenaikan muka air laut sebesar 8-10 mm/tahun. Parameter berikutnya adalah rata-rata pasang surut, dalam hal ini kota Semarang mengalami kenaikan 0.9 meter setiap periode pasang surut (18,61 tahun). Parameter berikutnya adalah deformasi vertikal yaitu kenaikan atau penurunan tanah akibat pengaruh geomorfologi. Kota Semarang mengalami deformasi vertikal dengan rerata -8cm/tahun. Parameter keempat yang digunakan adalah jenis pantai dan kemiringan pantai. Kota Semarang memiliki kemiringan pantai sekitar <0.6% dengan jenis pantai berpasir. Parameter kelima yang digunakan adalah pergerakan lempeng.
Gambar (4) merupakan kenaikan muka air laut di Kota Semarang akibat perubahan iklim untuk 100 tahun ke depan. Garis hijau menunjukkan kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim. Perubahan muka air laut akibat perubahan iklim adalah sebesar maksimal 10 mm/tahun. Jika perubahan tersebut konstan, maka pada 100 tahun ke depan akan terjadi perubahan muka air laut akibat perubahan iklim sebesar 1 meter. Kondisi ini akan mengenangi beberapa wilayah di Kota Semarang. Wilayah tersebut meliputi pesisir kota Semarang dan sebagian besar Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, serta sebagian kecil Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Genuk.
Gambar 4. Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim

Gambar (5) merupakan kenaikan muka air laut di Kota Semarang akibat rata-rata pasang surut untuk lima periode pasang surut ke depan atau (5*18,61 tahun).
Gambar 5. Kenaikan muka air laut akibat rata-rata pasang surut

Garis kuning merupakan kenaikan muka air laut akibat rata-rata pasang surut. Perubahan muka air laut akibat rata-rata pasang surut adalah sebesar maksimal 0.9 m/periode pasang surut. Jika perubahan tersebut konstan, maka pada lima periode pasang surut ke depan akan terjadi perubahan muka air laut akibat rata-rata pasang surut sebesar 4.5 meter. Kondisi ini akan mengenangi beberapa wilayah di Kota Semarang. Wilayah tersebut meliputi seluruh pesisir Kota Semarang yang melingkupi seluruh Kecamatan Tugu dan Kecamatan Semarang Utara, sebagian besar Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Timur, Kecamatan Gayamsari, dan Kecamatan Genuk serta sebagian kecil Kecamatan Pedurungan.
Gambar (6) merupakan kenaikan muka air laut di Kota Semarang akibat deformasi vertikal untuk 100 tahun ke depan.
Gambar 6. Kenaikan muka air laut akibat deformasi vertikal

Garis warna cyan merupakan kenaikan muka air laut akibat deformasi vertikal. Perubahan muka air laut akibat deformasi vertikal adalah sebesar maksimal -8 cm/tahun. Jika perubahan tersebut konstan, maka pada 100 tahun ke depan akan terjadi perubahan muka air laut akibat deformasi vertikal sebesar -8 meter. Kondisi ini akan mengenangi beberapa wilayah di Kota Semarang. Wilayah tersebut meliputi seluruh wilayah pesisir Kota Semarang dengan melingkupi keseluruhan Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Semarang Tengah, Kecamatan Semarang Timur, dan Kecamatan Gayamsari. Selain itu juga mengenangi sebagian besar Kecamatan Genuk, serta sebagian kecil Kecamatan Pedurungan.
Gambar (7) merupakan kenaikan muka air laut di Kota Semarang akibat kemiringan pantai dan jenis pantai untuk 100 tahun ke depan.
Gambar 7. Kenaikan muka air laut akibat kemiringan dan jenis pantai

Garis warna biru merupakan kenaikan muka air laut akibat kemiringan dan jenis pantai. Perubahan muka air laut akibat kemiringan pantai dan jenis pantai adalah sebesar 3.4 mm/tahun (proyeksi kenaikan muka air laut relatif). Kota Semarang memiliki jenis pantai berpasir dengan kemiringan <0.6 %. Jika perubahan tersebut konstan, maka pada 100 tahun ke depan akan terjadi perubahan muka air laut akibat parameter ini adalah sebesar 0.340 meter. Kondisi ini akan mengenangi beberapa wilayah di Kota Semarang. Wilayah tersebut meliputi seluruh pesisir Kota Semarang yang melingkupi Sebagian besar Kecamatan Tugu serta sebagian kecil Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, dan Kecamatan Genuk.
Gambar (8) merupakan kenaikan muka air laut di Kota Semarang akibat pergerakan lempeng untuk 100 tahun ke depan.
Gambar 8. Kenaikan muka air laut akibat pergerakan lempeng arah vertikal

Garis warna magenta merupakan kenaikan muka air laut akibat pergeseran lempeng arah vertikal. Perubahan muka air laut akibat pergeseran lempeng arah vertikal adalah sebesar maksimal 13.8 mm/tahun. Jika perubahan tersebut konstan, maka pada 100 tahun ke depan akan terjadi perubahan muka air laut akibat pergeseran lempeng sebesar 1.380 meter. Kondisi ini akan mengenangi beberapa wilayah di Kota Semarang. Wilayah tersebut meliputi seluruh pesisir Kota Semarang yang melingkupi Sebagian besar Kecamatan Tugu serta sebagian kecil Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, dan Kecamatan Genuk.
Gambar (9) merupakan kenaikan muka air laut di Kota Semarang akibat semua parameter untuk 100 tahun ke depan.
Gambar 9. Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim, rata-rata pasang surut, deformasi vertikal, kemiringan dan jenis pantai serta pergerakan lempeng arah vertikal

Garis warna merah merupakan kenaikan muka air laut akibat total dari perubahan iklim, rata-rata pasang surut, deformasi vertikal, kemiringan dan jenis pantai serta pergerakan lempeng arah vertikal. Jika perubahan tersebut konstan, maka pada 100 tahun ke depan akan terjadi perubahan muka air laut akibat semua parameter sebesar 15.22 meter. Kondisi ini akan mengenangi beberapa wilayah di Kota Semarang. Wilayah tersebut meliputi seluruh wilayah pesisir Kota Semarang yang melingkupi keseluruhan Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Genuk, Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Semarang Timur, dan Kecamatan Semarang Tengah. Selain itu juga mengenangi sebagian besar Kecamatan Semarang Selatan dan Kecamatan Pedurungan serta sebagian kecil Kecamatan Gajah Mungkur.
Berikut ini perbandingan perubahan kenaikan muka air laut terhadap parameter-parameter yang mempengaruhinya.
I. Kondisi perbandingan perubahan pada tahun 2008
 Tabel 1. Persentase parameter terhadap kenaikan muka air laut di Kota Semarang
Parameter
Persentase
perubahan iklim
0.17
pasang surut
19.54
abrasi pantai
21.72
deformasi vertikal
1.74
fenomena rob/aktivitas manusia
56.46
pergerakan lempeng (vertikal)
0.30
kemiringan dan jenis pantai (<0.6%)
0.07
Total
100

Pada tahun 2008, kenaikan muka air laut di Kota Semarang di dominasi oleh fenomena rob/aktivitas manusia. Abrasi pantai juga berpengaruh besar terhadap kenaikan muka air laut. Demikian juga dengan fenomena alamiah pasang surut. Perubahan iklim, kemiringan dan jenis pantai serta pergerakan lempeng tidak terlalu berpengaruh ada kenaikan muka air laut.

II. Kondisi perbandingan perubahan pada tahun 2108
Tabel 2. Persentase parameter terhadap kenaikan muka air laut di Kota Semarang
Parameter
Persentase
perubahan iklim
2.86
pasang surut
8.92
abrasi pantai
7.14
deformasi vertikal
28.55
fenomena rob/aktivitas manusia
46.40
pergerakan lempeng (vertikal)
4.92
kemiringan dan jenis pantai (<0.6%)
1.21
Total
100

Perkiraan pada tahun 2108, kenaikan muka air laut Kota Semarang masih didominasi oleh fenomena rob/aktivitas manusia. Akan tetapi pengaruh deformasi vertikal dan perubahan iklim mengalami kenaikan yang signifikan.

Gambar 10. Persentase parameter prediksi kenaikan muka air laut (2008-kiri; 2108-kanan)

Berbeda dengan pasang surut dan abrasi pantai, parameter ini mengalami sedikit penurunan. Sedangkan kemiringan dan jenis pantai serta pergerakan lempeng masih dalam kondisi relatif tetap.
  
 IV. Kesimpulan
Penelitian ini memiliki empat kesimpulan sebagai berikut.
  1. Kenaikan muka air lau di Kota Semarang lebih didominasi oleh fenomena rob/aktivitas manusia.
  2. Deformasi vertikal dan perubahan iklim diprediksi mengalami kenaikan signifikan pada 100 tahun ke depan.
  3. Kemiringan dan jenis pantai serta pergerakan lempeng masih dalam kondisi relatif tetap terhadap pengaruh kenaikan muka air laut.
  4. Parameter pasang surut dan abrasi pantai tetap berpengaruh signifikan terhadap kenaikan muka air laut di Kota Semarang.
 V. Daftar pustaka
Abubakar, M. , 2006. Menata pulau-pulau kecil perbatasan. Cetakan pertama. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. Indonesia.
Arsana, I.M.A., 2007. Batas Maritim Antar Negara. Cetakan pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Indonesia.
Arsana, I.M.A. and Julzarika, A., 2006. Liscad: Surveying & Engineering Software. Leica GeoSystem. Jakarta. Indonesia.
Diposaptono, S. et all., 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Cetakan pertama. PT. Sarana Komunikasi Utama. Bogor. Indonesia
Julzarika, A., 2007, Analisa Perubahan Koordinat Akibat Proses Perubahan Format Tampilan Peta pada Pembuatan Sistem Informasi Geografis Berbasis Internet, Skripsi, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM, Yogyakarta.
Julzarika, A., 2008. Differential of Digital Surface Model (DSM) to be Digital Elevation Model (DEM) from ALOS Satellite Imagery Using Least Square Adjustment Computation. Young Scientist Award-ASAIHL Scopus 2008 (nominee). Thailand
Li, Z., Zhu, Q., and Gold, C., 2005. Digital Terrain Modeling Principles and Methodology. CRC Press. Florida. USA.
Widjajanti, N.,dan Sutanta, H. 2006: Model Permukaan Digital, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universtas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar