Pemodelan Citra
Satelit Tunggal 2D menjadi Citra Satelit 3D dengan Metode Depth Cue Perceptive
Atriyon
Julzarika
1.
Pendahuluan
Citra satelit merupakan produk pencitraan yang dilakukan secara
penginderaan jauh dengan menggunakan wahana satelit dengan sensor pasif dan
aktif. Citra satelit dengan sensor pasif memiliki kelemahan tidak bebas efek
awan akan tetapi memiliki tampilan secara alami. Citra satelit dengan sensor
aktif memiliki kelebihan bebas efek awan akan tetapi memerlukan kemampuan
khusus untuk menganalisa data tersebut. Citra satelit sensor pasif biasa
disebut dengan citra optik sedangkan citra satelit sensor aktif disebut dengan
citra Synthetic Aperture Radar (SAR).
Citra satelit tersedia dalam bentuk 2D dimana kondisi ini mirip dengan
kondisi foto udara tunggal. Citra satelit dapat dibuat model stereo jika
minimal memiliki dua citra satelit dengan sudut pandang berbeda, yaitu pada
posisi nadir (pandangan ke bawah yang tegak lurus), backward (pandangan ke belakang), maupun forward (pandangan ke depan). Model stereo tersebut harus minimal
memiliki overlay 70% pada arah depan dan belakang terbang satelit dan 30% pada
arah samping terbang satelit serta kondisi base
height to ratio (rasio perbandingan antara basis foto terhadap tinggi
terbang) mendekati satu. Selain itu ada juga model reverse stereo (model pandangan dari satu titik terhadap dua arah
yang berbeda, kemudian dikembalikan lagi ke arah satu titik dari minimal dua
foto tersebut atau kebalikan model stereo) dengan menggunakan citra satelit
tunggal denggan beberapa metode tertentu, salah satunya depth cue perceptive (tanggap arah kedalaman foto).
Selama ini pembentukan citra 3D dilakukan dengan metode stereo menggunakan
minimal dua foto/citra. Citra 3D yang sering digunakan adalah Ikonos,
QuickBird, WorldView, Geo Eye, SPOT 5, ALOS Prism, ALOS Palsar, TerraSAR X,
ASTER. Sampai saat ini, masih jarang pembuatan citra 3D dari citra tunggal, terutama
di Indonesia. Proses pembuatan citra 3D dari citra tunggal akan lebih efisien
dan berbiaya rendah dibandingkan dengan pembuatan citra 3D dari minimal dua
citra stereo. Citra 3D diperlukan untuk berbagai analisa pemetaan 3D seperti
untuk klasifikasi penutup lahan, mitigasi bencana, pemodelan bumi, geologi,
pertambangan, volume permukaan, dan lain-lain. Tulisan ini bertujuan untuk
membahas pemodelan citra satelit tunggal 2D menjadi citra satelit 3D dengan
metode depth cue perceptive.
2. Metode Depth Cue
Perceptive
Metode ini merupakan salah satu pembentukan citra 3D dari foto/citra
tunggal dengan konsep melihat kedalaman suatu objek dengan sudut pandang
tertentu. Kedalaman suatu objek ini akan menghasilkan dua buah foto/citra yang
berasal dari foto/citra tunggal dengan kondisi base height to ratio tertentu. Metode ini merupakan kebalikan dari
konsep model stereo. Ada beberapa metode selain Depth Cue Perceptive untuk membuat model reverse stereo, yaitu Averaging
(rerata kedalaman pandangan),
Geometric (geometrik kedalaman pandangan), Red Search (pencarian band merah terhadap kedalaman pandangan), Green Search (pencarian band hijau
terhadap kedalaman pandangan), Blue
Search (pencarian band biru terhadap kedalaman pandangan), Cyan Search (pencarian band cyan
terhadap kedalaman pandangan), Yellow
Search (pencarian band kuning terhadap kedalaman pandangan), Magenta Search (pencarian band magenta
terhadap kedalaman pandangan), Neighbor
Search (pencarian tetangga terdekat terhadap kedalaman pandangan), Luminance Search (pencarian
pencahayaan terhadap kedalaman pandangan),
dan Saturation Search (pencarian
kejenuhan terhadap kedalaman pandangan).
Penjelasan dari
metode depth cue perceptive ini dapat
dilihat pada gambar 1, 2, 3. Pada gambar 1 menampilkan teknik pendefinisian
kedalaman gambar dari gambar atau video aslinya. Sedangkan pada gambar 2
menjelaskan tentang konsep model 2D dan model 3D. kedua model tersebut hanya
dibedakan oleh penggunaan parallax
barrier. Parallax barrier adalah
perangkat yang ditempatkan di depan sumber gambar seperti layar kristal cair,
untuk memungkinkan menampilkan gambar atau gambar stereoskopik tanpa perlu
memakai kacamata 3D. Model 3D mengaktifkan sistem parallax barrier sehingga mampu menghasilkan gambar/video dengan
kondisi 3D. sedangkan model 2D tidak mengaktifkan sistem parallax barrier sehingga tidak mampu menghasilkan gambar/video
dengan kondisi 3D.
Gambar 1. Konsep kedalaman gambar/video
Pada gambar 1
(sebelah kiri) merupakan citra asli yang belum dibuat model 3D, sedangkan
gambar 1 (sebelah kanan) merupakan penjelasan konsep kedalaman pandangan dari
suatu citra tunggal.
Gambar 2. Perbedaan model 2D (kiri) dengan
model 3D (kanan)
Pada model 2D (gambar
sebelah kiri), parallax barrier dimatikan
sehingga transparan. Setiap mata melihat gambar yang lengkap hanya sebagai
tampilan 2D normal. Sedangkan pada model 3D (gambar sebelah kanan), pixel
dipetakan pada foto kiri dan kanan yang bersekutu untuk menerangin celah yang
memblokir dalam parallax barrier.
Setiap mata hanya melihat piksel kiri dan kanan yang sesuai dengan penciptaan
persepsi kedalaman pandangan.
Gambar 3
menjelaskan tentang konsep penggunaan skala kedalaman gambar/video. Semakin
besar nilai angka kedalaman maka tingkat stereo model 3D akan lebih jelas.
Pada gambar 3
tersebut, adjustable depth level
berarti bahwa kedalaman pandangan citra tunggal perlu disesuaikan. Sedang depth perception memiliki arti bahwa
suatu citra tunggal bisa dibuat citra 3D dengan memperhitungakan perkiraan
jarak kedalaman pandangan dan perkiraan kedalaman pandangan (adjustable depth perception).
3. Model Stereo
Menurut ilmu fotogrammetri, suatu foto/citra/model dapat dibuat secara 3D
dengan menggunakan konsep model stereo yaitu suatu model dari minimal dua sudut
pandang terhadap titik/objek yang sama dengan kondisi base height to ratio mendekati satu. Secara umum, ada tiga sudut
pandang dalam pembentukan model stereo, yaitu backward, nadir, dan forward.
Model stereo ini dapat diaplikasikan pada citra optik dan
SAR untuk pembentukan model 3D dan foto/citra 3D. Citra satelit 3D merupakan
hasil pembentukan model stereo dari minimal dua sudut pandang berbeda terhadap
objek sama dengan kondisi baseheight to
ratio tertentu.
4. Pelaksanaan
Pada penelitian
ini menggunakan citra WorldView-2 dengan area kajian Kota Semarang dan citra
QuickBird wilayah kampus Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM). Citra ini sudah
dilakukan koreksi geometrik (orthorektifikasi) dan koreksi radiometric (radiometrik
standar dan topografi). Citra ini memiliki akurasi horizontal <1m dan telah
memenuhi standar digital globe, survei pemetaan internasional, dan standar
pemetaan nasional. Citra WorldView-2 ini memiliki resolusi spasial 50 cm yang
terdiri atas 8 band multispektral dan 1 band pankromatik. Citra multispectral
tersebut terdiri atas coastal blue, blue,
green, red, red edge, yellow, NIR 1, dan NIR 2. Sedangkan citra QuickBird
memiliki resolusi spasial 62 cm yang terdiri atas band biru, hijau, merah, dan
NIR.
Satelit WorldView-2 memiliki 8 spektral band dan satu
pankromatik. Band-band tersebut adalah:
a.
Coastal blue (400-450 nm): untuk absorbsi klorofil, air,
atmosfer, batimetri.
b.
Blue (450-510 nm): absorbsi klorofil tanaman, penetrasi air,
absorpsi scattering atmosfer.
c.
Green (510-580 nm): untuk peak reflectance, material tanaman.
d.
Red (630-690 nm): pembedaan vegetasi, klasifikasi tanah terbuka,
jalan, fitur geologi.
e. Red-Edge (705-745 nm): klasifikasi tumbuhan
f. NIR1 (770-895 nm): kelembabab dan biomassa,
jenis tanah dan vegetasi.
g. Yellow (585-625 nm): klasifikasi fitur,
tingkat kekuningan vegetasi pada tanah dan air.
h.
NIR2
(860-1040 nm): analisis vegetasi dan biomassa.
Citra WoldView-2
yang digunakan sebagai sampel penelitian adalah kombinasi band red-green-coastal blue. Gambar 4 berikut
ini adalah tampilan citra WorldView-2 wilayah Semarang. Kemudian dilakukan
pembentukan model reverse stereo dari
citra WorldView-2 yang digunakan. Pembentukan reverse stereo ini meliputi pembentukan reverse L/R images (pembentukan
foto kiri dan kanan dari satu arah kedalaman pandangan) dengan metode Depth Cue Perceptive. Setiap objek
diidentifikasi dari dua sudut pandang berbeda dengan kondisi koordinat pada
titik awal sudut pandang tersebut tetap. Kondisi ini diberlakukan sama terhadap
setiap objek. Kemudian ditentukan tipe tampilan untuk pembentukan model reverse stereo. Pada penelitian ini
menggunakan tipe R/B true anaglyph
(pandangan 3D secara anaglyph dengan menggunakan warna merah untuk foto kiri
dan warna biru untuk foto kanan). Pada foto kanan menggunakan tampilan citra
merah dan pada foto kiri menggunakan tampilan citra biru. Setelah itu akan
menghasilkan model reverse stereo. Gambar
5 merupakan tampilan foto kiri dan foto kanan citra worldview-2. Kedua foto
tersebut memiliki karakteristik sama atau bertampalan 100%. Jika pada metode
stereo yang lama minimal harus bertampalan 70% maka pada metode depth cue perceptive ini bisa
menggunakan satu foto yang sama dan bisa difungsikan sebagai foto kiri dan foto
kanan.
Pada penelitian
ini digunakan nilai depth cue perceptive
sebesar 0, 10 dan 20. Pada nilai 0, model 3D yang dihasilkan tidak terlalu
signifikan dalam menggambarkan kondisi 3D. pada kondisi ini, tingkat kedalaman
pandangan masih dalam kondisi dangkal. Gambar 6 merupakan hasil model 3D dengan
kondisi nilai depth 0 (nilai
kedalaman pandangan sebesar 0).
Selain kondisi
nilai depth 0, juga dilakukan
pembuatan model 3D dengan kondisi depth
10. Depth yang dimaksud ini merupakan
angka yang digunakan untuk mengukur tingkat kedalaman suatu peglihatan pada
model 3D tertentu. Gambar 7 merupakan tampilan model 3D dengan depth 10 (nilai kedalaman pandangan
sebesar 10).
Pada model 3D dengan
depth 10 ini terlihat kondisi model
3D dengan tampilan kedalaman penglihatan yang signifikan. Model 3D tersebut
sudah bisa menampilkan kondisi 3D objek sehingga bisa membedakan antar objek. Kemudian
juga dilakukan pembuatan model 3D dengan kondisi depth 20. Kondisi ini mencapai kedalaman penglihatan sebesar dua
kali lebih dalam dari kondisi depth
10. Pada kondisi depth 20 ini tingkat
pemisahan antar objek yang lebih signifikan dari pada model 3D dengan depth 10. Kondisi depth 20 ini menampilkan kondisi stereo yang mempengaruhi model 3D
yang terlalu dalam sehingga terlihat kondisi agak mem-blur. Gambar 8 merupakan
model 3D dengan kondisi depth 20
(nilai kedalaman pandangan sebesar 20).
Pada studi kasus
berikutnya digunakan data QuickBird. Pembuatan model 3D ini juga dilakukan
dengan kondisi depth 0, 10, dan 20.
Hasil yang diperoleh dalam pembuatan model 3D dengan data QuickBird ini juga
relatif sama dengan model 3D dari WorldView-2. Foto kiri dan foto kanan juga
menggunakan satu foto yang sama. Pada kondisi ini kedua foto akan bertampalan
100%. Gambar 9 merupakan tampilan foto kanan dan foto kiri wilayah kajian
dengan menggunakan data QuickBird.
Gambar 10
merupakan tampilan model 3D dengan kondisi depth
0 (nilai kedalaman pandangan sebesar 0).
Gambar 11
merupakan tampilan model 3D dengan kondisi depth
10 (nilai kedalaman pandangan sebesar 10).
Gambar 12
merupakan tampilan model 3D dengan kondisi depth
20 (nilai kedalaman pandangan sebesar 20).
5.
Hasil dan pembahasan
Model reverse stereo ini merupakan tampilan
secara 3D dengan pembentukan dua foto/citra dari foto/citra tunggal.
Pembentukan model reverse stereo ini
merupakan salah satu metode untuk pembentukan model 3D. Kondisi ini merupakan perkembangan ilmu dan teknologi pada bidang
fotogrammetri. Model reverse stereo
ini perlu dilakukan pengecekan di beberapa titik/objek. Hal berguna untuk
memastikan tingkat korelasi dan kondisi base
height to ratio dari foto kanan dan foto kiri yang dihasilkan dari metode Depth Cue Perceptive. Pada penelitian
ini dilakukan pengujian pada lima objek, yaitu rumah, pohon, gedung, lahan
terbuka, dan tugu. Gambar 13 sampai dengan gambar 22 berikut ini merupakan tampilan
pengecekan model reverse stereo metode
depth cue perceptive terhadap rumah,
pohon, gedung, lahan terbuka, kilang minyak, dan tugu.
Gambar 16. Tampilan pohon pada citra 3D
QuickBird
Gambar 18. Tampilan gedung pada citra 3D
QuickBird
Gambar 19. Tampilan lahan terbuka pada
citra 3D WorldView-2
Gambar 20. Tampilan lahan terbuka pada
citra 3D QuickBird
Secara visual,
pembentukan citra 3D pada kelima objek tersebut sudah dalam kondisi optimal
dengan tingkat eror yang minimal (sudah memenuhi toleransi pemetaan sebesar 3σ)
pada model reverse stereo. Setelah
dilakukan pengecekan secara visual, maka dapat dilakukan pengecekan secara
geostatistik. Pengecekan ini berupa pengecekan korelasi objek yang sama pada
kedua foto/citra dengan dua sudut pandang berbeda. Korelasi tersebut terletak
diatas 0,9 antar kedua foto/citra dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini merupakan salah satu alternatif dalam pembentukan
citra 3D dari foto/citra tunggal. Selain efektif dalam penggunaan jumlah
foto/citra, juga menghasilkan citra 3D dengan akurasi yang lebih baik juga.
Catatan: Citra 3D
WorldView-2 dan citra 3D QuickBird pada tulisan ini dapat dilihat dalam bentuk
model 3D dengan menggunakan kacamata 3D tipe R/B true anaglyph.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar