Rabu, 08 Mei 2013

Pemodelan Citra Satelit Tunggal 2D menjadi Citra Satelit 3D dengan Metode Depth Cue Perceptive


Pemodelan Citra Satelit Tunggal 2D menjadi Citra Satelit 3D dengan Metode Depth Cue Perceptive

Atriyon Julzarika


1. Pendahuluan
Citra satelit merupakan produk pencitraan yang dilakukan secara penginderaan jauh dengan menggunakan wahana satelit dengan sensor pasif dan aktif. Citra satelit dengan sensor pasif memiliki kelemahan tidak bebas efek awan akan tetapi memiliki tampilan secara alami. Citra satelit dengan sensor aktif memiliki kelebihan bebas efek awan akan tetapi memerlukan kemampuan khusus untuk menganalisa data tersebut. Citra satelit sensor pasif biasa disebut dengan citra optik sedangkan citra satelit sensor aktif disebut dengan citra Synthetic Aperture Radar (SAR).
Citra satelit tersedia dalam bentuk 2D dimana kondisi ini mirip dengan kondisi foto udara tunggal. Citra satelit dapat dibuat model stereo jika minimal memiliki dua citra satelit dengan sudut pandang berbeda, yaitu pada posisi nadir (pandangan ke bawah yang tegak lurus), backward (pandangan ke belakang), maupun forward (pandangan ke depan). Model stereo tersebut harus minimal memiliki overlay 70% pada arah depan dan belakang terbang satelit dan 30% pada arah samping terbang satelit serta kondisi base height to ratio (rasio perbandingan antara basis foto terhadap tinggi terbang) mendekati satu. Selain itu ada juga model reverse stereo (model pandangan dari satu titik terhadap dua arah yang berbeda, kemudian dikembalikan lagi ke arah satu titik dari minimal dua foto tersebut atau kebalikan model stereo) dengan menggunakan citra satelit tunggal denggan beberapa metode tertentu, salah satunya depth cue perceptive (tanggap arah kedalaman foto).
Selama ini pembentukan citra 3D dilakukan dengan metode stereo menggunakan minimal dua foto/citra. Citra 3D yang sering digunakan adalah Ikonos, QuickBird, WorldView, Geo Eye, SPOT 5, ALOS Prism, ALOS Palsar, TerraSAR X, ASTER. Sampai saat ini, masih jarang pembuatan citra 3D dari citra tunggal, terutama di Indonesia. Proses pembuatan citra 3D dari citra tunggal akan lebih efisien dan berbiaya rendah dibandingkan dengan pembuatan citra 3D dari minimal dua citra stereo. Citra 3D diperlukan untuk berbagai analisa pemetaan 3D seperti untuk klasifikasi penutup lahan, mitigasi bencana, pemodelan bumi, geologi, pertambangan, volume permukaan, dan lain-lain. Tulisan ini bertujuan untuk membahas pemodelan citra satelit tunggal 2D menjadi citra satelit 3D dengan metode depth cue perceptive.

2. Metode Depth Cue Perceptive
Metode ini merupakan salah satu pembentukan citra 3D dari foto/citra tunggal dengan konsep melihat kedalaman suatu objek dengan sudut pandang tertentu. Kedalaman suatu objek ini akan menghasilkan dua buah foto/citra yang berasal dari foto/citra tunggal dengan kondisi base height to ratio tertentu. Metode ini merupakan kebalikan dari konsep model stereo. Ada beberapa metode selain Depth Cue Perceptive untuk membuat model reverse stereo, yaitu Averaging (rerata kedalaman pandangan), Geometric (geometrik kedalaman pandangan), Red Search (pencarian band merah terhadap kedalaman pandangan), Green Search (pencarian band hijau terhadap kedalaman pandangan), Blue Search (pencarian band biru terhadap kedalaman pandangan), Cyan Search (pencarian band cyan terhadap kedalaman pandangan), Yellow Search (pencarian band kuning terhadap kedalaman pandangan), Magenta Search (pencarian band magenta terhadap kedalaman pandangan), Neighbor Search (pencarian tetangga terdekat terhadap kedalaman pandangan), Luminance Search (pencarian pencahayaan terhadap kedalaman pandangan), dan Saturation Search (pencarian kejenuhan terhadap kedalaman pandangan).
Penjelasan dari metode depth cue perceptive ini dapat dilihat pada gambar 1, 2, 3. Pada gambar 1 menampilkan teknik pendefinisian kedalaman gambar dari gambar atau video aslinya. Sedangkan pada gambar 2 menjelaskan tentang konsep model 2D dan model 3D. kedua model tersebut hanya dibedakan oleh penggunaan parallax barrier. Parallax barrier adalah perangkat yang ditempatkan di depan sumber gambar seperti layar kristal cair, untuk memungkinkan menampilkan gambar atau gambar stereoskopik tanpa perlu memakai kacamata 3D. Model 3D mengaktifkan sistem parallax barrier sehingga mampu menghasilkan gambar/video dengan kondisi 3D. sedangkan model 2D tidak mengaktifkan sistem parallax barrier sehingga tidak mampu menghasilkan gambar/video dengan kondisi 3D.
 Gambar 1. Konsep kedalaman gambar/video

Pada gambar 1 (sebelah kiri) merupakan citra asli yang belum dibuat model 3D, sedangkan gambar 1 (sebelah kanan) merupakan penjelasan konsep kedalaman pandangan dari suatu citra tunggal.

Gambar 2. Perbedaan model 2D (kiri) dengan model 3D (kanan)
           
Pada model 2D (gambar sebelah kiri), parallax barrier dimatikan sehingga transparan. Setiap mata melihat gambar yang lengkap hanya sebagai tampilan 2D normal. Sedangkan pada model 3D (gambar sebelah kanan), pixel dipetakan pada foto kiri dan kanan yang bersekutu untuk menerangin celah yang memblokir dalam parallax barrier. Setiap mata hanya melihat piksel kiri dan kanan yang sesuai dengan penciptaan persepsi kedalaman pandangan.
Gambar 3 menjelaskan tentang konsep penggunaan skala kedalaman gambar/video. Semakin besar nilai angka kedalaman maka tingkat stereo model 3D akan lebih jelas.
Gambar 3. Konsep penggunaan skala kedalaman gambar/video

Pada gambar 3 tersebut, adjustable depth level berarti bahwa kedalaman pandangan citra tunggal perlu disesuaikan. Sedang depth perception memiliki arti bahwa suatu citra tunggal bisa dibuat citra 3D dengan memperhitungakan perkiraan jarak kedalaman pandangan dan perkiraan kedalaman pandangan (adjustable depth perception).

3. Model Stereo
Menurut ilmu fotogrammetri, suatu foto/citra/model dapat dibuat secara 3D dengan menggunakan konsep model stereo yaitu suatu model dari minimal dua sudut pandang terhadap titik/objek yang sama dengan kondisi base height to ratio mendekati satu. Secara umum, ada tiga sudut pandang dalam pembentukan model stereo, yaitu backward, nadir, dan forward. Model stereo ini dapat diaplikasikan pada citra optik dan SAR untuk pembentukan model 3D dan foto/citra 3D. Citra satelit 3D merupakan hasil pembentukan model stereo dari minimal dua sudut pandang berbeda terhadap objek sama dengan kondisi baseheight to ratio tertentu.

4. Pelaksanaan
Pada penelitian ini menggunakan citra WorldView-2 dengan area kajian Kota Semarang dan citra QuickBird wilayah kampus Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM). Citra ini sudah dilakukan koreksi geometrik (orthorektifikasi) dan koreksi radiometric (radiometrik standar dan topografi). Citra ini memiliki akurasi horizontal <1m dan telah memenuhi standar digital globe, survei pemetaan internasional, dan standar pemetaan nasional. Citra WorldView-2 ini memiliki resolusi spasial 50 cm yang terdiri atas 8 band multispektral dan 1 band pankromatik. Citra multispectral tersebut terdiri atas coastal blue, blue, green, red, red edge, yellow, NIR 1, dan NIR 2. Sedangkan citra QuickBird memiliki resolusi spasial 62 cm yang terdiri atas band biru, hijau, merah, dan NIR.
Satelit WorldView-2 memiliki 8 spektral band dan satu pankromatik. Band-band tersebut adalah:
a.       Coastal blue (400-450 nm): untuk absorbsi klorofil, air, atmosfer, batimetri.
b.      Blue (450-510 nm): absorbsi klorofil tanaman, penetrasi air, absorpsi scattering atmosfer.
c.       Green (510-580 nm): untuk peak reflectance, material tanaman.
d.      Red (630-690 nm): pembedaan vegetasi, klasifikasi tanah terbuka, jalan, fitur geologi.
e.       Red-Edge (705-745 nm): klasifikasi tumbuhan
f.       NIR1 (770-895 nm): kelembabab dan biomassa, jenis tanah dan vegetasi.
g.      Yellow (585-625 nm): klasifikasi fitur, tingkat kekuningan vegetasi pada tanah dan air.
h.      NIR2 (860-1040 nm): analisis vegetasi dan biomassa.

Gambar 4. Citra WorldView-2 Kota Semarang

Citra WoldView-2 yang digunakan sebagai sampel penelitian adalah kombinasi band red-green-coastal blue. Gambar 4 berikut ini adalah tampilan citra WorldView-2 wilayah Semarang. Kemudian dilakukan pembentukan model reverse stereo dari citra WorldView-2 yang digunakan. Pembentukan reverse stereo ini meliputi pembentukan reverse L/R images (pembentukan foto kiri dan kanan dari satu arah kedalaman pandangan) dengan metode Depth Cue Perceptive. Setiap objek diidentifikasi dari dua sudut pandang berbeda dengan kondisi koordinat pada titik awal sudut pandang tersebut tetap. Kondisi ini diberlakukan sama terhadap setiap objek. Kemudian ditentukan tipe tampilan untuk pembentukan model reverse stereo. Pada penelitian ini menggunakan tipe R/B true anaglyph (pandangan 3D secara anaglyph dengan menggunakan warna merah untuk foto kiri dan warna biru untuk foto kanan). Pada foto kanan menggunakan tampilan citra merah dan pada foto kiri menggunakan tampilan citra biru. Setelah itu akan menghasilkan model reverse stereo. Gambar 5 merupakan tampilan foto kiri dan foto kanan citra worldview-2. Kedua foto tersebut memiliki karakteristik sama atau bertampalan 100%. Jika pada metode stereo yang lama minimal harus bertampalan 70% maka pada metode depth cue perceptive ini bisa menggunakan satu foto yang sama dan bisa difungsikan sebagai foto kiri dan foto kanan.
 Gambar 5. Foto kiri dan foto kanan WorldView-2 Kota Semarang

Pada penelitian ini digunakan nilai depth cue perceptive sebesar 0, 10 dan 20. Pada nilai 0, model 3D yang dihasilkan tidak terlalu signifikan dalam menggambarkan kondisi 3D. pada kondisi ini, tingkat kedalaman pandangan masih dalam kondisi dangkal. Gambar 6 merupakan hasil model 3D dengan kondisi nilai depth 0 (nilai kedalaman pandangan sebesar 0).
 Gambar 6. Depth 0 citra 3D WorldView-2

Selain kondisi nilai depth 0, juga dilakukan pembuatan model 3D dengan kondisi depth 10. Depth yang dimaksud ini merupakan angka yang digunakan untuk mengukur tingkat kedalaman suatu peglihatan pada model 3D tertentu. Gambar 7 merupakan tampilan model 3D dengan depth 10 (nilai kedalaman pandangan sebesar 10).
Gambar 7. Depth 10 citra 3D WorldView-2

Pada model 3D dengan depth 10 ini terlihat kondisi model 3D dengan tampilan kedalaman penglihatan yang signifikan. Model 3D tersebut sudah bisa menampilkan kondisi 3D objek sehingga bisa membedakan antar objek. Kemudian juga dilakukan pembuatan model 3D dengan kondisi depth 20. Kondisi ini mencapai kedalaman penglihatan sebesar dua kali lebih dalam dari kondisi depth 10. Pada kondisi depth 20 ini tingkat pemisahan antar objek yang lebih signifikan dari pada model 3D dengan depth 10. Kondisi depth 20 ini menampilkan kondisi stereo yang mempengaruhi model 3D yang terlalu dalam sehingga terlihat kondisi agak mem-blur. Gambar 8 merupakan model 3D dengan kondisi depth 20 (nilai kedalaman pandangan sebesar 20).
 Gambar 8. Depth 20 citra 3D WorldView-2

Pada studi kasus berikutnya digunakan data QuickBird. Pembuatan model 3D ini juga dilakukan dengan kondisi depth 0, 10, dan 20. Hasil yang diperoleh dalam pembuatan model 3D dengan data QuickBird ini juga relatif sama dengan model 3D dari WorldView-2. Foto kiri dan foto kanan juga menggunakan satu foto yang sama. Pada kondisi ini kedua foto akan bertampalan 100%. Gambar 9 merupakan tampilan foto kanan dan foto kiri wilayah kajian dengan menggunakan data QuickBird.
 Gambar 9. Foto kiri dan foto kanan citra QuickBird wilayah kampus Teknik UGM

Gambar 10 merupakan tampilan model 3D dengan kondisi depth 0 (nilai kedalaman pandangan sebesar 0).
 Gambar 10. Depth 0 citra 3D QuickBird wilayah kampus Teknik UGM

Gambar 11 merupakan tampilan model 3D dengan kondisi depth 10 (nilai kedalaman pandangan sebesar 10).
 Gambar 11. Depth 10 citra 3D QuickBird wilayah kampus Teknik UGM

Gambar 12 merupakan tampilan model 3D dengan kondisi depth 20 (nilai kedalaman pandangan sebesar 20).
 Gambar 12. Depth 20 citra 3D QuickBird wilayah kampus Teknik UGM

5. Hasil dan pembahasan
Model reverse stereo ini merupakan tampilan secara 3D dengan pembentukan dua foto/citra dari foto/citra tunggal. Pembentukan model reverse stereo ini merupakan salah satu metode untuk pembentukan model 3D. Kondisi ini merupakan perkembangan ilmu dan teknologi pada bidang fotogrammetri. Model reverse stereo ini perlu dilakukan pengecekan di beberapa titik/objek. Hal berguna untuk memastikan tingkat korelasi dan kondisi base height to ratio dari foto kanan dan foto kiri yang dihasilkan dari metode Depth Cue Perceptive. Pada penelitian ini dilakukan pengujian pada lima objek, yaitu rumah, pohon, gedung, lahan terbuka, dan tugu. Gambar 13 sampai dengan gambar 22 berikut ini merupakan tampilan pengecekan model reverse stereo metode depth cue perceptive terhadap rumah, pohon, gedung, lahan terbuka, kilang minyak, dan tugu.
 Gambar 13. Tampilan rumah pada citra 3D WorldView-2

 Gambar 14. Tampilan rumah pada citra 3D QuickBird

Gambar 15. Tampilan pohon pada citra 3D WordView-2

Gambar 16. Tampilan pohon pada citra 3D QuickBird

 Gambar 17. Tampilan gedung pada citra 3D WorldView-2

Gambar 18. Tampilan gedung pada citra 3D QuickBird

Gambar 19. Tampilan lahan terbuka pada citra 3D WorldView-2

Gambar 20. Tampilan lahan terbuka pada citra 3D QuickBird

 Gambar 21. Tampilan kilang minyak pada citra 3D WorldView-2

Gambar 22. Tampilan tugu pada citra 3D QuickBird

Secara visual, pembentukan citra 3D pada kelima objek tersebut sudah dalam kondisi optimal dengan tingkat eror yang minimal (sudah memenuhi toleransi pemetaan sebesar 3σ) pada model reverse stereo. Setelah dilakukan pengecekan secara visual, maka dapat dilakukan pengecekan secara geostatistik. Pengecekan ini berupa pengecekan korelasi objek yang sama pada kedua foto/citra dengan dua sudut pandang berbeda. Korelasi tersebut terletak diatas 0,9 antar kedua foto/citra dengan tingkat kepercayaan 95%. Hal ini merupakan salah satu alternatif dalam pembentukan citra 3D dari foto/citra tunggal. Selain efektif dalam penggunaan jumlah foto/citra, juga menghasilkan citra 3D dengan akurasi yang lebih baik juga.

Catatan: Citra 3D WorldView-2 dan citra 3D QuickBird pada tulisan ini dapat dilihat dalam bentuk model 3D dengan menggunakan kacamata 3D tipe R/B true anaglyph.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar